Sukses

Dianggap Kutukan dan Supranatural, KND Ajak Masyarakat Adat Berperan Aktif Hapus Stigma Disabilitas

Banyak persepsi yang tersebar di tengah masyarakat jika penyandang disabilitas dipandang sebagai kutukan.

Liputan6.com, Jakarta Komisi Nasional Disabilitas (KND) menilai komunitas masyarakat adat memiliki peran yang sangat penting dalam upaya penghapusan stigma terhadap penyandang disabilitas.

Pasalnya, pandangan budaya terhadap keberadaan penyandang disabilitas masih cenderung kuat di tengah masyarakat.

Banyak persepsi yang tersebar di tengah masyarakat jika penyandang disabilitas dipandang sebagai kutukan. Disabilitas juga dipandang sebagai akibat dari dosa dan sering sekali direlasikan dengan sesuatu yang berbau supranatural.

Padahal, penyandang disabilitas merupakan bagian dari komunitas adat yang juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Kekuatan komunitas masyarakat adat yang memiliki pemahaman, kearifan lokal, dan kekayaan budaya dipandang dapat memberikan dukungan dan pemahaman yang tepat dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Ketua KND, Dante Rigmalia menyampaikan, komunitas masyarakat adat mempunyai peran penting dalam penghapusan stigma dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di tengah masyarakat.

“Stigma pada penyandang disabilitas masih terasa di kalangan masyarakat. Stigma ini membuat penyandang disabilitas tidak dapat mendapatkan hak-haknya serta dianggap tidak mampu bekerja,” kata Dante dalam webinar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengutip keterangan pers, Jumat (2/2/2024).

Penyandang disabilitas dianggap tidak mampu untuk bersekolah atau bahkan tidak mampu untuk memiliki suara pada kegiatan pesta politik. Dan suaranya tidak dihargai ataupun tidak dianggap penting,” tambahnya.

2 dari 4 halaman

22 Hak Penyandang Disabilitas

Senada dengan Dante, Komisioner KND Fatimah Asri Mutmainnah menyampaikan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah dimuat 22 hak penyandang disabilitas. Dan terdapat 7 hak spesifik anak dengan disabilitas dan 4 hak spesifik perempuan dengan disabilitas.

Hak spesifik dimiliki anak dan perempuan disabilitas karena kedua kelompok ini sangat mudah mengalami kerentanan yang berlapis.

“Jadi dalam konteks masyarakat adat yang juga merupakan bagian dari kelompok masyarakat rentan. Kita bisa membayangkan kerentanan yang berlapis yang dialami seorang penyandang disabilitas yang juga bagian dari masyarakat adat.”

“Kemudian dia seorang perempuan atau seorang anak disabilitas maka akan mendapatkan kerentanan yang berlipat-lipat,” sambung Fatimah.

3 dari 4 halaman

Masyarakat Adat Dapat Berperan Aktif

Sementara itu, Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sumbolinggi berpandangan bahwa komunitas masyarakat adat dapat berperan aktif dalam penghapusan stigma dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Ia juga mengungkapkan, pengalaman AMAN dalam upaya melindungi hak-hak masyarakat adat bisa menjadi pembelajaran serta contoh praktik baik. Ini dapat ditiru sehingga perlu dipikirkan bersama bagaimana peran AMAN dapat diintegrasikan ke depannya.

Rukka juga menjelaskan bahwa masih banyak praktik-praktik buruk yang masih menjadi permasalahan besar hingga saat ini.

Salah satu yang masih banyak dilakukan adalah praktik pemasungan karena dianggap mengganggu keamanan. Penyandang disabilitas dibuatkan rumah kecil dari bambu petung yang besar berbentuk segi empat yang di dalamnya hanya disediakan alas tidur dan perabotan seadanya.

4 dari 4 halaman

Efek Domino dari Kemiskinan dan Kurangnya Akses Layanan

Sekjen AMAN ini juga mengungkap, faktor penyebab praktik buruk itu adalah efek domino dari kemiskinan dan akses terhadap pelayanan di kampung-kampung pedalaman.

Masyarakat tinggal jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan dan akses informasi yang memadai.

“Misalnya di kampung-kampung yang di pedalaman itu tidak ada fasilitas untuk penanganan, jika ada maka itu sudah pasti mahal. Kalau mau keluar daerah, maka akan memakai biaya yang lebih besar lagi,” ungkap Rukka.

Ditambah, ada beberapa aturan adat terdahulu yang masih mengandung diskriminasi. Seperti aturan tradisi atau hukum adat yang sudah lahir dan berkembang beratus-ratus tahun yang lalu.

Seiring perkembangan zaman, banyak aturan yang sudah tidak sesuai sehingga perlunya rekomendasi dan penegasan dari negara melalui undang-undang. Tujuannya, memastikan masyarakat adat juga melakukan reformasi secara internal.

“Perlunya dukungan satu sama lain, di AMAN sendiri kami terus memastikan bahwa kita semua harus inklusif, dan tidak dibeda-bedakan. Semua harus ikut dalam mengambil keputusan apalagi kelompok-kelompok penyandang disabilitas, menciptakan kesetaraan antara satu sama lain, sehingga itu disebut dengan tindakan afirmatif,” jelas Rukka.