Liputan6.com, Jakarta Masyarakat Indonesia kerap mendengar informasi tentang pekerja migran yang mendapat kekerasan dari majikan.
Perlakuan buruk dan tak manusiawi yang diterima pekerja migran menimbulkan akibat lebih jauh yakni kondisi disabilitas.
Baca Juga
Kaitan antara pekerja migran dan disabilitas diulas dalam "Policy Paper Yang Terhadang, Yang Terhalang: Kajian Interseksionalitas Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Hak Penyandang Disabilitas."
Advertisement
Kajian yang terbit pada 2021 ini mengatakan bahwa menjadi penyandang disabilitas adalah hal yang mengenaskan di negeri ini. Selain masih rendahnya penghargaan dan perlindungan terhadap penyandang disabilitas, penanganan penyandang disabilitas oleh pemerintah kebanyakan masih berperspektif karitatif.
“Belum menyentuh dan memperbaiki kembali harkat hidup serta hak asasi manusianya,” mengutip publikasi yang ditulis Migrant CARE bersama OHANA Indonesia dan dukungan Disability Rights Fund, Jumat (23/2/2024).
Kajian ini memberi contoh kasus pekerja migran yang mendapat kekerasan hingga mengalami disabilitas netra.
“Setelah bekerja menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Singapura, SG (49) pulang dengan kondisi yang memprihatinkan. Selain bekas luka di sekujur tubuh akibat disiksa majikannya, SG juga mengalami buta permanen. Saat ini, SG hanya bisa berjalan jika dituntun oleh keluarganya.”
“Kondisinya yang mengalami kebutaan akibat disiksa majikan membuat dia tidak dapat berjalan sendiri. SG berangkat ke Singapura untuk menjadi TKI sejak 2015 lalu.”
Berdasarkan keterangan yang didapat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura, SG berangkat melalui Batam, Kepri, dengan menggunakan proses direct hiring.
Direct hiring adalah sebuah jalur untuk mempermudah pekerja sektor informal kembali bekerja tanpa melalui agensi maupun jasa Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) di Indonesia.
Kekerasan Terhadap Pekerja Migran Dari Tahun ke Tahun
SG adalah salah satu contoh, sementara kekerasan yang menimpa pekerja migran Indonesia masih terus terjadi.
Sepanjang 2018, Migrant CARE mencatat setidaknya terjadi sebanyak 178 kasus kekerasan terhadap pekerja migran yang mencakup kekerasan secara verbal, seksual, fisik dan dimensi kekerasan lainnya.
Sementara itu, sepanjang tahun 2019-2020, berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) setidaknya ada 700 kasus kekerasan yang berakhir dengan kematian pekerja migran di luar negeri.
Melansir laman BP2MI, hingga Juni 2023 ada 898 pengaduan. 29 di antaranya terkait perdagangan orang, 44 penipuan peluang kerja, dan 32 soal gaji tidak dibayar.
Advertisement
Fenomena Gunung Es
Menurut publikasi OHANA, ini merupakan fenomena gunung es karena dapat diperkirakan jumlah kasus kekerasan yang menimpa pekerja migran jauh lebih besar dari yang dilaporkan.
Sebagai satu indikasi sederhana adalah terus adanya pemberitaan mengenai kekerasan yang menimpa pekerja migran Indonesia di media-media mainstream.
Beberapa kalangan bahkan menyebut masyarakat sudah mengalami banalitas, yaitu terbiasa dengan berita kekerasan, khususnya terkait pekerja migran.
Sebaliknya, dengan menggunakan data statistik, para pejabat sering melakukan penyangkalan realitas kekerasan yang dialami pekerja migran Indonesia. Dengan menyatakan bahwa kasus kekerasan yang terjadi tak lebih dari nol sekian persen dari total jumlah pekerja migran.
Kekerasan pada Pekerja Migran Kerap Dianggap Kesialan Semata
Fenomena kekerasan yang menimpa pekerja migran, seperti yang menimpa SG, seringkali dilihat sebagai satu peristiwa yang berdimensi tunggal.
Yaitu dari aspek pelanggaran atas jaminan pelindungan hak pekerja migran, atau bahkan hanya dilihat dan ditangani sebagai kasus disabilitas pasca migrasi.
Dalam banyak kasus, disabilitas pasca migrasi yang dialami pekerja migran ditangani sebagai persoalan sosial karitatif, yaitu dianggap sebagai bentuk kesialan atau ketidakberuntungan.
Kasus itu ditangani hanya dengan mekanisme bantuan sosial, seperti jaminan kesehatan dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk orang miskin.
Padahal, kasus SG mengilustrasikan adanya pelanggaran hak berganda yang bersumber dari persinggungan dari diskriminasi dan identitasnya sebagai perempuan yang menghasilkan pelanggaran baru.
“Dengan demikian, proses penanganannya semestinya melibatkan pendekatan yang multidimensi yang terkandung dalam beberapa instrumen HAM sekaligus.”
Advertisement