Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas masih mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan termasuk dalam menggunakan jaminan sosial BPJS Kesehatan. Tak jarang, orang dengan disabilitas mengalami hambatan saat mengomunikasikan keluhan yang dirasakan.
Namun, hal seperti ini nyatanya dapat diminimalisasi dengan adanya kerja sama antara aktivis disabilitas atau pemerintah daerah dengan pihak BPJS Kesehatan.
Baca Juga
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memberi contoh praktik baik yang dilakukan di Yogyakarta dan Cirebon, Jawa Barat.
Advertisement
“Ada contoh di Yogya, satu bentuk pendampingan dari pemerintah daerah untuk orang yang berkebutuhan khusus itu ada jaminan (covering) sendiri (khusus difabel). Kalau BPJS itu secara umum yang dibayari oleh Kemensos adalah yang miskin, tapi baru dari sisi ekonomi, bukan dari sisi kebutuhan khusus,” kata Ghufron menjawab Disabilitas Liputan6.com dalam 17th International Conference on Information and Communication Technology in Social Security (ICT) di Bali, Rabu (6/3/2024).
Ghufron menjelaskan, pemerintah daerah Yogyakarta sudah menyediakan anggaran tambahan dari jaminan kesehatan semesta (Jamkesta) untuk menanggung BPJS Kesehatan penyandang disabilitas.
“Jamkesta bekerja sama dengan BPJS untuk meng-cover orang berkebutuhan khusus,” jelas Ghufron.
Contoh lainnya di Cirebon, kerja sama dijalin dalam bentuk penyediaan juru bahasa isyarat (JBI). Para aktivis disabilitas membantu para penyandang Tuli mendapat informasi tentang BPJS Kesehatan melalui bantuan JBI tersebut.
“Saya baru dari Cirebon kemarin, para aktivis orang dengan kebutuhan khusus, terutama tuna rungu itu bekerja sama dengan BPJS. Maka, khusus di BPJS Cirebon itu ada bahasa isyarat, ini kerja sama termasuk ke rumah sakitnya,” papar Ghufron.
Permudah Akses bagi Masyarakat Umum
Selain berupaya memberi akses pada penyandang disabilitas, pihak Ali juga berusaha membuat BPJS Kesehatan lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.
Salah satunya dengan membuat antrean daring atau antrean online. Hal ini dilatarbelakangi adanya berbagai kekurangan. Misalnya, waktu tunggu atau antre hingga enam jam lamanya. Dengan antrean online, waktu tunggu bisa dipangkas hingga 2,5 jam.
Antrean daring membuat pengguna tak perlu datang ke fasilitas kesehatan (faskes) di pagi buta, tapi sesuai dengan antrean yang didapat secara daring.
Advertisement
Hasil Pengembangan ICT
Antrean daring merupakan salah satu hasil dari pengembangan Information and Communication Technology (ICT).
Sayangnya, menurut BPJS Kesehatan, perubahan teknologi ini tidak seluruhnya dicerna dengan baik oleh masyarakat. Sebagian masyarakat masih datang ke faskes jauh sebelum waktu layanan meski sudah mendapat jadwal secara daring.
“Kita kan sudah bikin antrean online, cuman tidak semua masyarakat itu betul-betul sudah melek digital, tidak semua,” kata Ghufron.
Maka dari perlu perubahan menyeluruh, tidak hanya dari teknologinya tapi juga dari masyarakatnya.
“Ini memerlukan perubahan, tidak hanya mindset, skill (keterampilan), tapi juga budaya.”
Budaya Belum Menyesuaikan Teknologi
Ghufron memberi contoh, saat melakukan kunjungan ke puskesmas di Kulonprogo, ia melihat ada warga yang sudah daftar antrean daring.
“Ada seorang ibu-ibu pakai antrean online, dia dapat jam 10.00, tapi jam 07.30 saya ke puskesmas itu dia sudah di situ dan rumahnya dekat.”
Menurut Ali, ibu itu merasa khawatir antreannya akan direbut orang lain.
“Artinya, kulturnya belum menyesuaikan. Budaya dia masih budaya takut direbut orang, padahal dia sudah pakai sistem baru, antrean online, enggak mungkin direbut oleh orang,” jelasnya.
Jumlah pengguna aplikasi Mobile JKN terus mengalami peningkatan. Hingga kini, sudah ada 34 juta orang yang mengunduh aplikasi tersebut.
Advertisement