Liputan6.com, Jakarta Laporan beberapa organisasi disabilitas menunjukkan bahwa aksesibilitas dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 masih belum optimal.
Data kelayakan aksesibilitas yang dihimpun Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia mengungkap, kelayakan aksesibilitas bagi pemilih difabel di tempat pemungutan suara (TPS) masih jauh dari harapan. Temuan menunjukkan:
Baca Juga
- Sekitar 54 persen pemilih difabel fisik yang menggunakan kursi roda mengalami kesulitan saat memasukkan surat suara ke dalam kotak suara.
- Sekitar 41 persen petugas KPPS tidak memberikan instruksi non-verbal saat memanggil pemilih difabel sensorik Tuli.
- Sebanyak 84 persen TPS tidak menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI).
- Sekitar 69 persen di antaranya tidak memberikan informasi tentang tata cara pemungutan dengan bahasa isyarat.
Menurut perwakilan penulis laporan, Nur Syarif Ramadan, penyediaan aksesibilitas dan pemahaman kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) terkait layanan yang akses tidak didasarkan pada data yang akurat. Begitu pula terkait pendampingan bagi difabel.
Advertisement
Syarif menduga, tidak banyak petugas di TPS yang mengetahui keberadaan pemilih difabel. Sehingga pelanggaran bisa dialami saat proses pemungutan suara berlangsung.
“Saya sendiri, di Makassar, kemarin tidak terdata sebagai difabel, padahal saya difabel,” kata Syarif dalam keterangan pers yang diterima Disabilitas Liputan6.com, Senin, 25 Maret 2024.
Pemahaman Petugas Soal Alat Bantu Pencoblosan Belum Rata
Syarif menambahkan, pemahaman petugas pemilihan terhadap alat bantu pencoblosan (template) bagi pemilih difabel sensorik netra juga masih belum merata.
Data yang juga dilaporkan Pusat Rehabilitasi Yakkum dan Formasi Disabilitas menunjukkan, dari 27 persen TPS yang diamati, sekitar 43 persen pemilih difabel netra menghadapi kesulitan. Khususnya saat memberikan hak pilihnya di bilik suara dan sering memerlukan bantuan orang lain.
Sekitar 35 persen petugas KPPS tidak memberitahu pemilih difabel netra tentang ketersediaan template dan cara penggunaannya, sementara 33 persen template yang tersedia di TPS sulit digunakan oleh difabel netra.
“Kemudian ada 45 TPS di 15 Provinsi yang belum menyediakan formulir C3 (surat pernyataan pendamping pemilih) di beberapa lokasi pemungutan suara,” kata Syarif berdasarkan laporan yang dirilis pada Jumat, 22 Maret 2024.
“Padahal Formulir C3 dibutuhkan untuk memastikan asas kerahasiaan bagi pemilih dan proses pendampingan bagi pemilih difabel,” lanjut Syarif.
Advertisement
Rekomendasi Berdasar Pantauan
Berdasarkan hasil pemantauan ini, Syarif menekankan beberapa rekomendasi, yakni:
- Pengawas dan penyelenggara Pemilu perlu mengeluarkan kebijakan afirmatif yang menekankan pentingnya inklusi difabel dalam seluruh tahapan Pemilu, mulai dari partisipasi partai politik hingga pemilihan kepala daerah dan kepala negara.
- Diperlukan panduan kampanye yang memastikan keterlibatan aktif dan inklusi difabel serta kelompok rentan lainnya, termasuk akses yang memadai terhadap materi dan kegiatan kampanye.
- Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memastikan penunjukkan status dan jenis disabilitas pada Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di semua tingkatan. Sehingga, Petugas Pemungutan Suara (PPS) dapat memahami keberadaan difabel yang akan menggunakan hak pilihnya.
Harap Pemilu Selanjutnya Jadi Lebih Inklusif
Rekomendasi ini merupakan rekomendasi umum. Sedangkan untuk rekomendasi khusus akan disampaikan secara lengkap kepada penyelenggara Pemilu.
“Dengan langkah-langkah ini, diharapkan proses demokrasi akan menjadi lebih inklusif dan mampu mewujudkan hak partisipasi yang setara bagi semua warga negara,” ucap Syarif.
Sebelumnya, dijelaskan bahwa pemantauan dilakukan dari periode kampanye hingga pencoblosan dan rekapitulasi penghitungan surat suara. Pemantauan melibatkan 218 relawan pemantau dari 20 Provinsi. Para pemantau disebar ke 218 tempat pemungutan suara (TPS) di 42 kabupaten/kota.
Advertisement