Sukses

TB Meningitis Kerap Berujung pada Disabilitas, Peneliti Ungkap Cerita di Balik Pengembangan Obat

TB meningitis dapat membuat pasien mengalami gangguan kognitif hingga tak bisa berjalan seperti semula atau disebut pula sebagai disabilitas fisik.

Liputan6.com, Jakarta Tuberkulosis yang menyerang otak atau TB meningitis kerap memicu disabilitas pada pengidapnya.

TB meningitis dapat membuat pasien mengalami gangguan kognitif hingga tak bisa berjalan seperti semula atau disebut pula sebagai disabilitas fisik.

Melihat dampak buruk dari TB meningitis, para peneliti berupaya mengembangkan obat untuk mencegahnya. Salah satu peneliti yang telah lama mengkaji soal obat TB adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Prof. Rovina Ruslami, dr., SpPD, PhD.

Sudah hampir 20 tahun Rovina melakukan penelitian di bidang TB, khususnya terkait pengobatan. Riset dimulai saat menempuh studi doktoral di Radboud University Medical Center, Nijmegen, Belanda, atas dorongan pembimbing dan rekan sejawatnya.

Saat itu, masih sangat jarang penelitian mengenai pengobatan TB, khususnya farmakologi, pada populasi Indonesia. Selain meneliti mengenai farmakologi obat TB pada pasien TB Indonesia, Rovina juga mengeksplorasi mengenai upaya optimalisasi pengobatan TB dengan menggunakan rifampisin dosis tinggi.

Obat-obat TB sudah ada sejak 1960 – 70-an, pengobatannya juga sudah ada sejak 1985. Tetapi risetnya hampir tidak ada pembaruan, padahal pengobatan TB masih memiliki masalah.

Pengobatan TB itu kompleks, lama, banyak obat yang harus diminum pasien, dan masih saja ada yang tidak sembuh atau bahkan meninggal akibat TB, sehingga perlu dipikirkan upaya untuk optimalisasi pengobatan TB,” kata Rovina mengutip laman resmi Unpad, Senin (15/4/2024).

2 dari 4 halaman

Optimalisasi Modifikasi Pemberian Obat TB

Rovina melihat perlunya ada pengobatan TB yang lebih singkat, dengan obat yang sama potensinya tapi sekaligus juga aman bagi pasien.

Alih-alih mencari obat baru, Rovina justru mencoba memaksimalkan penggunaan salah satu obat TB yang sudah ada sejak 50 tahun lalu yakni rifampisin. Ini adalah obat utama dalam pengobatan TB.

Penelitian mengenai pencarian obat baru tak dilakukan lantaran memerlukan waktu belasan tahun dan dana yang tidak sedikit. Sementara, kebutuhan akan optimalisasi pengobatan TB tidak bisa menunggu lama.

Dengan memahami sifat-sifat rifampisin sebagai obat TB, penggunaannya dapat dioptimalkan melalui modifikasi pemberian yakni dari dosis atau cara pemberiannya.

3 dari 4 halaman

Meningkatkan Dosis Rifampisin

Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa dengan meningkatkan dosis rifampisin 1/3 dari dosis biasa, mampu meningkatkan kadar obat dalam tubuh pasien sampai 3 kali, dengan profil keamanan yang sama.

Saat hampir selesai dengan program doktoral, terdapat peluang untuk melanjutkan ke program post-doctoral dengan bantuan hibah dari pemerintah Belanda (KNAW).

“Promotor saya melihat peluang itu, akhirnya ia menyuruh saya untuk membuat proposal hibah post-doctoral dari apa yang kami teliti waktu S-3 kemudian dicoba untuk TB Meningitis,” paparnya.

Pada 2009, penelitian terkait TB Meningitis atau TB yang menyerang selaput pembungkus otak, masih sangat minim. Padahal, penyakit ini sangat mematikan, jika pasien selamat maka umumnya mereka mengalami disabilitas.

Rovina pun “ditantang” untuk mengimplementasikan risetnya untuk pengobatan TB meningitis.

“Saat itu saya sangat tertekan disuruh membuat proposal karena masih sibuk memikirkan sidang akhir S3,” kenangnya.

“Namun promotor saya berusaha meyakinkan saya kalau saya bisa dan ini merupakan peluang sangat baik” tambahnya.

4 dari 4 halaman

Rifampisin Dosis Tinggi dengan Metode Injeksi

Rovina pun berhasil mendapatkan hibah post-doctoral sebesar 50 ribu Euro, relatif kecil waktu itu.

Meskipun “dipaksa” mengerjakan riset tersebut, hasilnya ternyata di luar dugaan.

Penambahan dosis rifampisin sebanyak sepertiga dari dosis biasa dan diberikan secara injeksi ternyata dapat meningkatkan kesempatan pasien TB meningitis untuk sembuh sebanyak 50 persen. Ini jika dibandingkan pasien yang mendapatkan pengobatan dengan rifampisin dengan dosis biasa/standar.

Dengan kata lain, tingkat kematian pasien yang mendapatkan obat dosis tinggi secara injeksi setengah lebih rendah dibandingkan pasien dengan dosis biasa. Sedangkan, profil keamanan tidak berbeda dengan dosis biasa. Metode injeksi dipilih agar kadar obat dapat lebih efektif masuk ke dalam tubuh.

Rovina menjelaskan, pasien TB meningitis mengalami sakit berat dan sering susah menelan obat. Penyerapan tubuh juga biasanya terganggu.

Kondisi ini menyebabkan kadar obat dalam darah menjadi lebih rendah. Metode injeksi berupa menyuntikkan obat ke dalam pembuluh darah akan membuat obat masuk seluruhnya ke dalam tubuh sehingga kadarnya diharapkan akan lebih tinggi dan efeknya lebih baik pula.

Rovina mengatakan, hasil penelitian tersebut kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah bergengsi “Lancet Infectious Disease” pada 2013.

Publikasi ilmiah ini berhasil membuka cakrawala baru dalam pengobatan berbagai bentuk TB, baik TB paru, TB meningitis, ataupun infeksi laten TB.

Bahkan, hasil riset tim peneliti ini juga menjadi acuan bagi penelitian lainnya yang dilakukan di berbagai negara. 

“Saat ini, tidak ada satu pun dari penelitian (pengobatan TB) di dunia yang tidak menggunakan rifampisin dosis tinggi, dalam upaya optimalisasi pengobatan TB,” ujarnya.

Peneliti di berbagai negara telah menggunakan hasil riset Rovina dan tim sebagai dasar untuk melakukan riset lanjutan. Hal ini untuk menjawab apakah pemberian rifampisin dosis tinggi dapat mengoptimalkan pengobatan TB, tidak hanya TB meningitis pada orang dewasa di Indonesia, tapi juga TB lainnya termasuk untuk pasien anak.