Liputan6.com, Jakarta Anas adalah remaja asal kediri yang sempat mengalami gangguan jiwa akibat kecanduan game online.
Kabar baiknya, setelah mengenyam pendidikan di pondok pesantren, ia menunjukkan perkembangan yang baik.
Melansir NU Online, Anas adalah salah satu santri dari Padepokan Tahfidhul Qur’an Ibnu Rusydi di Dusun Nglaban, Desa Bendet, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Advertisement
Ia mulai diantar oleh keluarganya ke pondok pada 2019. Padepokan Tahfidhul Qur'an Ibnu Rusydi merupakan instansi pendidikan agama yang santrinya tidak hanya orang non-disabilitas saja, tapi juga menerima santri dengan kategori Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
"Saya sudah lima tahun di sini, dulu tidak tahu kalau ke sini itu mondok, tahunya ke sini diajak jalan-jalan sebelum beli handphone baru," jelas Anas mengutip NU Online, Selasa (14/5/2024).
Anas berkisah, awal kedatangannya ke Pesantren Ibnu Rusydi karena saat itu jarang pulang ke rumah. Dunianya terbalik, sebab terlalu asyik main game di warnet. Ketika itu, jenis game yang ia mainkan adalah Point Blank. Saking asyiknya, Anas akan mengamuk dan melawan orangtuanya ketika dilarang main game dan tidak diberikan uang saku.
Kecanduan game membuat kehidupan Anas tidak teratur. Yang ada di pikirannya hanya main game. Ketergantungan ini berpengaruh pada kejiwaannya yang tidak stabil. Bahkan bisa dikategorikan ODGJ.
"Kecanduan game yang saya alami cukup parah saat itu, sampai melawan orangtua dan tidak pernah pulang. Hidup di warnet. Dalam hati dan pikiran hanya ada game. Jenis game-nya yaitu Point Blank," katanya.
Terus Menghafal Al-Quran hingga Game Terlupakan
Tidak hanya satu game, Anas juga kecanduan main PlayStation 3 bersama teman-temannya. Durasi mainnya pun sudah melebihi batas normal. Selanjutnya, karena akses internet semakin mudah, Anas terjebak pada game Mobile Legend.
Setiap hari, Anas hanya memegang gawai dan bermain game. Khawatir dengan masa depan Anas, orangtuanya inisiatif melakukan terapi di Jombang dengan Kiai Agus Ma'arif, pengasuh Tahfidhul Qur'an Ibnu Rusydi.
"Ketika datang ke sini, saya masih ngamuk-ngamuk," imbuhnya.
Seiring berjalannya waktu, Anas mulai lebih tenang dan bisa diajak berbincang. Setelah itu, Anas diminta untuk rutin shalat lima waktu dan ngaji Al-Quran. Ia juga diminta mengikuti kajian kitab kuning, meskipun tidak paham maksudnya. Setelah bertahun-tahun di Ibnu Rusydi, Anas akhirnya berhasil menyelesaikan hafalan Al-Quran 30 juz. Bahkan sekarang kesibukannya yaitu membaca Al-Qur'an setiap hari, hingga tidak teringat lagi main game.
Advertisement
Rutin Setoran Hafalan Al-Quran Setiap Hari
Mengingat masa lalunya yang buruk, Anas hanya bisa tersenyum malu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya hari ini jika tidak sempat berkenalan dengan Al-Quran. Mungkin saat ini masih terjebak dalam gangguan jiwa.
"Saya dulu setoran Al-Quran setiap habis shalat Isya dan Subuh. Sekarang sering diundang untuk khataman dan diajak nyetir mobil pengasuh," ungkapnya.
Padepokan Tahfidhul Qur'an Ibnu Rusydi sendiri menaungi dua lembaga yaitu pesantren dengan pembayaran gratis dan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) di bawah Dinas Sosial. LKS ini ada pembayaran untuk makan sebesar Rp560 ribu.
"Saat ini kita membina sekitar 50 orang. Kita batasi karena kekurangan tenaga," kata Pengasuh Padepokan Tahfidhul Qur'an Ibnu Rusydi, Kiai Agus Ma'arif.
Memanusiakan Manusia
Dalam membina santri dengan gangguan jiwa, Agus Ma'arif menggunakan pendekatan persuasif. Dengan cara memanusiakan manusia.
Metode pengobatan yang digunakan yaitu menenangkan pikiran dan hati pasien dengan kalimat thayibah khususnya Al-Quran. Setiap santri yang memiliki gangguan jiwa datang, maka rambutnya akan dipangkas hingga botak, dimandikan, kemudian dirantai sementara jika tidak bisa dikendalikan, lalu diterapi dengan bacaan Al-Quran.
"Santri yang masih depresi diajak baca Al-Quran, ngaji kitab kuning dan diajak salat. Durasi pengobatan berbeda-beda. Tergantung kesembuhannya. Setiap santri berbeda-beda," tegas Kiai Agus.Â
​Menurut Agus Ma'arif, pengobatan utamanya yaitu membiarkan santri yang mengalami gangguan jiwa mendengarkan bacaan Al-Quran. Pasalnya, menurut keyakinannya Al-Quran adalah syifa (obat) yang bisa mengobati jiwa.
Sementara, metode hafalan dilakukan agar pikiran mereka tidak kosong dan tetap mengingat ayat-ayat suci Allah.
“Kalau pikiran kosong malah akan sulit sembuh. Karena pikiran mereka ke mana-mana. Mengingat kembali penyebab depresi. Janjinya Allah, Al-Quran adalah syifa. Orang dalam gangguan jiwa yang dirawat di sini banyak yang sukses setelah pulang. Bahkan ada yang punya lembaga pesantren," paparnya.
Advertisement