Sukses

Masuki Dunia Kerja, Ini 2 Keterampilan yang Cocok Dimiliki Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas tak hanya bisa bekerja sebagai tukang pijat atau tukang cuci pakaian, ini 2 contoh keterampilan yang cocok untuk bekal masuk dunia kerja.

Liputan6.com, Jakarta - Penyandang disabilitas kerap dianggap hanya bisa bekerja sebagai tukang pijat atau tukang cuci pakaian.

Padahal dengan keterampilan yang memadai dan kesempatan yang setara, mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih beragam.

Ini melatarbelakangi Kementerian Sosial (Kemensos) mengadakan pelatihan fotografi dan desain grafis bagi penyandang disabilitas rungu wicara. Pelatihan yang digelar dengan kerja sama Tata Rupa, Tab Space, dan Kerjabilitas juga menyediakan career assessment untuk para peserta.

Kolaborasi ini memberikan harapan baru bagi para disabilitas rungu wicara untuk meraih masa depan yang lebih cerah melalui keterampilan dan kesempatan yang setara dalam dunia kerja. Sebagaimana diungkapkan oleh Lead Fasilitator dari Kerjabilitas, Tetti.

“Kami mau membongkar bahwa stigma karier disabilitas bukan hanya tukang pijat atau tukang laundry. Di sinilah kami ingin menunjukkan bahwa ada peluang disabilitas bisa bekerja di tempat yang besar,” kata Tetti di Sentra Mulya Jaya Jakarta, 13 Juni 2024, seperti mengutip laman Kemensos.

“Latihan ini adalah cara untuk kita membawa mereka keluar dari kebiasaan ini, menunjukkan banyak lho profesi di luar sana yang bisa mereka jalani,” tambahnya.

Pelatihan ini digelar pada 13 hingga 15 Juni, di hari pertama dan kedua, para peserta diberikan kesempatan untuk mempelajari dan meningkatkan keterampilan fotografi dan desain grafis. Pelatihan ini dibantu oleh Tata Rupa dan Tab Space. Salah satu praktiknya dengan membuat portofolio untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan pengalaman yang telah mereka miliki, sehingga dapat lebih mengenal dan memahami diri lebih baik.

2 dari 4 halaman

Pelatihan Career Assessment bagi Penyandang Disabilitas

Pelatihan ditutup dengan pemaparan career assessment yang difasilitasi oleh Kerjabilitas. Peserta diajarkan cara menyusun portofolio, curriculum vitae, praktik wawancara, hingga mencari peluang kerja yang relevan. Melalui pelatihan ini para peserta diharapkan lebih percaya diri memasuki dunia kerja.

Salah satu peserta pelatihan, Tari (14), mengaku senang dan antusias mengikuti pelatihan ini.

“Saya senang sekali mengikuti pelatihan ini. Semoga bisa bermanfaat untuk saya dan teman-teman disabilitas agar kami lebih kreatif dalam mendesain. Harapannya kami bisa lebih cepat memperoleh pekerjaan,” jelas Tari melalui juru bahasa isyarat (JBI).

Total ada 34 peserta yang mengikuti pelatihan ini dalam tiga hari. Semua peserta adalah penyandang disabilitas rungu wicara. Mereka berasal dari tiga sentra, yaitu Sentra Terpadu Pangudi Luhur Bekasi, Sentra Mulya Jaya Jakarta, dan Sentra Handayani Jakarta.

3 dari 4 halaman

Jumlah Pekerja Disabilitas

Dalam keterangan lain, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah sempat memaparkan bahwa pada 2021 terdapat 1.271 penyandang disabilitas yang bekerja di 72 badan usaha milik negara (BUMN). Serta 4.554 disabilitas yang bekerja di 588 perusahaan swasta.

"Jumlah ini masih jauh lebih sedikit jika dibandingkan jumlah disabilitas di Indonesia sebesar 16,5 juta jiwa, di antaranya 7,6 juta laki-laki dan 8,9 juta perempuan," kata Ida dalam Presidensi G20 Indonesia pada Februari 2022 mengutip Indonesia.go.id.

Ia menekankan, kerja sama terus dilakukan pemerintah untuk mendorong rasio kerja penyandang disabilitas di perusahaan BUMN, BUMD, dan swasta.

4 dari 4 halaman

Menurut Data Sakernas

Sementara, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas 2020) menunjukkan 5,79 persen atau sekitar 8 juta angkatan kerja di Indonesia adalah penyandang disabilitas. Jumlah tersebut hanya mencakup 44 persen dari populasi disabilitas usia kerja.

Data ini menunjukkan, meski kebijakan ketenagakerjaan inklusif di Indonesia telah mengalami kemajuan, tapi hambatan masih dialami oleh pelaku usaha dan penyandang disabilitas. Termasuk penyandang disabilitas akibat kusta.

Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman soal keberagaman dan nilai inklusi di kalangan pembuat kebijakan dan pelaku usaha.