Sukses

Cerita Penyandang Disabilitas ADHD dari Surabaya Sulit Lanjutkan Sekolah, Ditolak dengan Alasan Kuota Penuh

Ingin sekolah di SMKN, gadis disabilitas dari Surabaya ditolak lebih dari satu kali dengan alasan yang sama yakni kuota penuh.

Liputan6.com, Jakarta - Segudang prestasi yang ditorehkan penyandang disabilitas dari Surabaya, Naomi Octavia tak cukup untuk membuatnya lolos ke Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN).

Padahal, gadis usia 16 ini memiliki catatan nilai yang baik selama mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN). Sang ibu, Nurul Vitrianingrum menunjukkan bahwa nilai mata pelajaran putrinya rata-rata 80 hingga 90.

Ditambah, berbagai prestasi telah dikantongi seperti juara satu lomba menyanyi di tahun 2017, juara satu lomba tari pada 2023, dan berbagai penghargaan di bidang lomba peragaan busana.

Nurul menilai, Naomi dinyatakan tidak diterima oleh salah satu SMKN terkemuka di Kabupaten Sidoarjo dengan alasan yang tidak jelas. Padahal, dia mendaftar lewat jalur afirmasi sebagai penyandang disabilitas.

“Saya sudah melakukan yang terbaik, tapi nyatanya anak saya tidak diterima dengan alasan yang tidak masuk akal,” kata Nurul lewat keterangan tertulis kepada LIRA Disability Care, dikutip Kamis, 27 Juni 2024.

Alasan tak masuk akal yang dimaksud Nurul adalah kuota yang disebut sudah penuh oleh pihak sekolah.

Nurul dan putrinya yang menyandang Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) telah berusaha yang terbaik agar dapat melanjutkan sekolah ke SMKN. Nurul ingin Naomi sekolah di SMK agar setelah lulus ia memiliki keahlian, khususnya dalam bidang memasak.

2 dari 4 halaman

Upaya Mencari Sekolah yang Sesuai dengan Minat dan Bakat

Sejumlah usaha yang terbaik telah Nurul lakukan. Mulai dari mencari sekolah yang sesuai dengan minat bakat, melakukan pendekatan dengan pihak sekolah hingga mengikuti tes asesmen. Sayangnya, semua upaya yang dilakukan tak membuahkan hasil.

Nurul menjelaskan, Naomi sudah mengikuti sejumlah prosedur yang diminta oleh pihak sekolah termasuk mengikuti tes asesmen. Bahkan calon guru pendamping khusus juga senang dengan sejumlah prestasi yang dimiliki oleh Naomi. Namun, ia kecewa karena Naomi dinyatakan tidak diterima karena alasan kuota sudah penuh.

3 dari 4 halaman

Coba Komunikasi dengan Berbagai Pihak

Nurul juga telah berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk mengadu kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Namun, usahanya masih belum ada titik terang.

“Saya sudah coba jalin komunikasi dengan beberapa pejabat di Dinas Pendidikan Jatim, tapi belum ada hasil,” ungkap Nurul.

Lebih lanjut Nurul juga menjelaskan, bahwa dirinya sudah mencoba mendaftarkan Naomi ke beberapa sekolah SMKN yang telah direkomendasikan. Namun lagi-lagi Naomi ditolak dengan alasan kuota sudah penuh.

4 dari 4 halaman

Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas

Kisah Naomi bertolak belakang dengan upaya pemenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas Indonesia.

Hak penyandang disabilitas dalam dunia pendidikan telah diatur secara tegas melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 pasal 10 huruf A sampai D.

Undang-Undang tersebut memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan pendidikan yang berpihak pada kepentingan, kesetaraan, dan keadilan bagi mereka.

Hak-hak pendidikan bagi penyandang disabilitas mencakup aspek-aspek penting seperti:

  • Mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan baik secara inklusif maupun khusus.
  • Penyandang disabilitas mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.
  • Hak penyandang disabilitas mencakup kesempatan untuk menjadi penyelenggara pendidikan yang berkualitas di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.
  • Penyandang disabilitas berhak mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik. Ini menegaskan prinsip bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk memperoleh kemerdekaan dalam pendidikan sepanjang hayat tanpa adanya hambatan atau diskriminasi.

“Ketentuan ini mencerminkan komitmen untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang memerdekakan bagi semua, tanpa memandang pemberdayaan kondisi fisik, sensorik, intelektual atau mental setiap individu,” kata Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Guru Tunanetra Inklusif (IGTI) Bima Kurniawan kepada Disabilitas Liputan6.com.