Sukses

ODGJ Kerap Dipasung dan Berkeliaran di Jalan, Akademisi: Negara Harus Bertanggung Jawab

Banyak ODGJ yang dipasung, dikerangkeng, hingga dibuang dan dibiarkan berkeliaran di jalanan, pemerintah perlu turun tangan.

Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas khususnya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih mendapat penanganan yang kurang layak di tengah masyarakat.

Banyak di antara mereka yang dipasung, dikerangkeng, hingga dibuang dan dibiarkan berkeliaran di jalanan.

“Ini menunjukkan penanganan kesehatan mental di Indonesia sangat memprihatinkan,” kata Dosen Prodi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Very Julianto mengutip NU Online, Senin (12/8/2024).

Untuk mengantisipasi fenomena ini, lanjut Very, perlu adanya penegakan hukum bagi pelaku kekerasan pada ODGJ seperti pemasung atau kerangkeng. Pasalnya, selama ini masyarakat menganggap perbuatan tersebut sebagai hal yang wajar.

“Tapi kan ada acara lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat yang lebih sehat dan adaptif (manusiawi),” ujarnya.

Very menegaskan, pemerintah sebagai penyelenggara negara harus bertanggung jawab kepada ODGJ yang berkeliaran di jalan. Dia mengatakan, perlu adanya keseriusan pemerintah dalam menangani mereka, seperti memaksimalkan program reintegrasi dan rehabilitasi.

“Rehabilitasi saja tidak cukup, karena setelah keluar dari panti rehabilitasi ODGJ, mereka perlu keterampilan untuk bertahan hidup. Bahkan, keluarga terkadang tidak mau mengakui mereka.”

“Mereka perlu diberikan pekerjaan juga bahkan pelayanan kesehatan mental berkelanjutan agar tidak kambuh,” terangnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Peran Keluarga untuk Pemulihan ODGJ

Selain itu, lanjut Very, keluarga memegang peran penting bagi pemulihan kesehatan mental ODGJ. Keluarga juga harus senantiasa mendukung ODGJ agar bisa hidup normal seperti orang pada umumnya.

“Keluarga perlu diedukasi agar mereka merawat orang yang terkena gangguan mental dengan sehat dan manusiawi. Bukan merawat yang tidak sehat dengan cara dipasung atau dikerangkeng,” katanya.

Perlu adanya dukungan dari masyarakat atau komunitas-komunitas terhadap keluarga yang anggotanya terkena gangguan mental. Bahkan mereka sering kali terganggu ekonominya karena tidak bisa bekerja demi merawat keluarganya yang terkena gangguan tersebut.

“Atau misalnya ada keluarga mau kontrol atau ambil obat itu ke rumah sakit jauh, kita perlu melakukan dukungan. Misalnya RT RW meminjamkan mobil biar dia bisa ke rumah sakit untuk mengambil obat. Apalagi (kalau sewa) mobil habis jutaan (misalnya),” paparnya.

3 dari 4 halaman

Pemicu Gangguan Kesehatan Mental

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Lu’luatul Chizanah mengatakan, banyaknya kasus gangguan kesehatan mental merupakan masalah yang sifatnya makro.

Gangguan kesehatan mental di antaranya terjadi karena nilai-nilai dan budaya kehidupan saat ini mengalami perkembangan globalisasi serta dampak negatif dari media sosial. Saat ini, lanjut Lulu, merupakan era kehidupan yang terbuka dan mudah dalam memperoleh informasi. Kehidupan berjalan dengan cepat dan efisien.

“Namun di sisi lain, ada kecemasan-kecemasan yang muncul karena kita secara otomatis melakukan pembandingan kondisi diri dengan yang kita amati di media sosial. Ini dapat menggerus tingkat harga diri kita, yang padahal merupakan fondasi penting dalam kesehatan mental,” ujar Lulu.

4 dari 4 halaman

Perubahan Kehidupan Akibat Media Sosial

Lulu menambahkan, saat ini umat manusia di dunia mengalami perubahan kehidupan akibat media sosial. Seseorang akan lebih terhubung dengan orang lain yang jaraknya jauh daripada orang atau lingkungan setempat.

Padahal lingkungan terdekat merupakan sumber dukungan hidup untuk mendapatkan kehangatan dan keramahtamahan hubungan. Manusia menjadi individualistis, tidak peduli dengan orang lain.

“Nah, ketika kita sedang merasa terhimpit, tidak dapat mengandalkan diri sendiri, kita kemudian merasa sangat putus asa karena merasa tidak ada lagi yang dapat kita andalkan. Rasa putus asa ini berpotensi mengarah pada ide-ide bunuh diri,” jelas Lulu.

“Maka, perlu sekali kita meninjau iklim kehidupan sosial dewasa ini. Nilai-nilai tradisional yang kita miliki tentang kebersamaan, nuansa solidaritas, dan lain sebagainya perlu dihidupkan lagi,” tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.