Liputan6.com, Jakarta Mengenyam pendidikan tinggi di dua negara berbeda adalah hal yang tak mudah bagi Nyi Raden Calvinca Naomi Poerawinata. Namun, ia membuktikan bahwa dirinya mampu dan kini telah dinyatakan lulus.
Perempuan yang akrab disapa Vinca merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Maastricht University, Belanda.
Baca Juga
Dalam menjemput kelulusannya, ia perlu menyelesaikan dua tugas akhir berupa penelitian hukum dengan judul yang sama yaitu tentang hak penyandang disabilitas pada Agustus lalu.
Advertisement
Mengkaji soal hak penyandang disabilitas, Vinca teringat akan perjalanan yang pernah ia lalui sebelumnya. Ia pernah menjadi sukarelawan untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan berkesempatan bertemu dengan pemimpin perempuan pejuang hak disabilitas yang menulis undang-undang hukum disabilitas di Uni Eropa.
“Sungguh senang saya berkesempatan bertemu dengannya yang pada akhirnya menjadi supervisor sekaligus memotivasi dan menginspirasi saya dalam melakukan penelitian dan menulis skripsi dan tesis”, kata Vinca mengutip laman UGM, Rabu (11/12/2024).
Vinca berhasil menulis skripsi berjudul “Pendidikan Tinggi Inklusif bagi Penyandang Disabilitas: Evaluasi Implementasi Pasal 24 (5) Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas untuk menempuh pendidikan di Indonesia – Studi Kasus di Universitas Gadjah Mada.”
Baginya, tulisan ini memantik segala rasa keingintahuan untuk melihat perbandingan fasilitas dan hak-hak yang diberikan penyandang disabilitas di Indonesia dan Eropa.
Punya 2 Gelar
Kini, Vinca merasa lega setelah empat tahun bekerja keras menyelesaikan studi di dua universitas. Dalam waktu yang hampir bersamaan ia lulus dari Fakultas Hukum UGM dan Maastricht University.
Pada Wisuda Program Sarjana dan Sarjana Terapan Periode I TA 2024/2025, 21 November 2024 lalu, ia dinyatakan lulus dari program internasional Fakultas Hukum UGM. Sementara pada 5 Desember 2024 ini, ia diwisuda di European Law School, Maastricht University, Belanda.
Vinca menyandang gelar ganda (double degree) dari International Undergraduate Program (IUP) Fakultas Hukum UGM dan European Law School, Maastricht University, Belanda.
Dengan kelulusan itu, Vinca pun berhak atas dua gelar. Gelar Sarjana Hukum (S.H) dari Universitas Gadjah Mada dan Legum Baccalaureus (LL.B) dari Maastricht University.
Advertisement
Proses Belajar di Dua Perguruan Tinggi
Saat belajar di Fakultas Hukum UGM, ia mengambil konsentrasi Hukum Internasional, sedangkan di Maastricht University, ia terdaftar di European Law School, dan berkonsentrasi mendalami berbagai sistem hukum di Belanda, Perancis, Jerman, Inggris dan untuk beberapa kasus di Amerika Serikat.
“Saya bersyukur dan berterima kasih untuk dua kesempatan ini.”
Proses belajar di dua perguruan tinggi tentu bukan perkara mudah. Dalam mengikuti program gelar ganda, Vinca menempuh pendidikan di UGM pada tahun pertama, yaitu semester 1 dan semester 2. Dilanjutkan menempuh pendidikan di Maastricht University, Belanda semester 3 sampai semester 6.
Pada pembelajaran semester 7 dan 8, ia kembali mengikuti pendidikan di Fakultas hukum UGM. Kemudian menyelesaikan skripsi dengan joint supervision dari UGM dan Maastricht University di tahun keempat.
“Aku sungguh bersyukur bisa mengungkapkan perasaan terbaikku. Setelah mengalami tahun-tahun sulit namun aku yakini ini penuh manfaat”, ucapnya.
Tertarik pada Hukum di Eropa
Kompleksitas Uni Eropa menjadi alasan Vinca memilih studi di Maastricht University, Belanda. Ia mengaku sangat berminat mempelajari seluk-beluk serta cara kerja hukum di Eropa secara mendalam.
Semua yang ia pelajari pada akhirnya mengubah persepsinya akan pemahaman bagaimana hukum Eropa dijalankan benar-benar untuk melindungi masyarakat.
“Ini yang membuat seorang penggila hukum seperti saya sangat senang,” ujarnya.
Vinca sangat merasa beruntung bisa menjalani Program Double Degree. Dengan program ini pula, ia turut mencecap berbagai kesempatan mengikuti kompetisi internasional mewakili sebuah LSM Belanda ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Selain itu, Vinca terlibat dalam kompetisi putaran regional pertama peradilan semu internasional. “Ini menambah pengalaman luar biasa bagi saya.”
Saat belajar di University of Maastricht, ia mengaku menggunakan metode pengajaran ala Socrates. Metode di mana mahasiswa harus menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan yang diberikan.
“Kami menyebutnya metode PBL (Problem Based Learning), Pembelajaran Berbasis Masalah,” terangnya.
Menurut Vinca metode ini sesungguhnya sulit. Meski begitu justru dengan metode ini melatihnya berpikir kritis dan mendorong kemandirian dalam belajar. Hampir 80-100 halaman harus ia baca sebelum kelas, dan ia harus menyiapkan jawaban untuk berbagai studi kasus untuk didiskusikan secara kolektif di kelas. Dengan usaha kerasnya, ia berhasil lulus dengan IPK 3,75 di dua universitas tersebut.
Advertisement