Liputan6.com, Jakarta - Penyandang disabilitas adalah salah satu kelompok yang rentan terpapar bahaya rokok. Baik menjadi perokok pasif maupun aktif.
Ada berbagai alasan mengapa para penyandang disabilitas mulai merokok. Salah satunya karena merasa diterima di lingkungan pertemanan.
Baca Juga
“Ada satu teman sempat cerita, dia adalah orangtua dari penyandang disabilitas autistik. Jadi di rumah itu sebenarnya bebas rokok, orangtua tidak ada yang merokok. Kemudian di sekolah juga bebas rokok, sudah dipastikan,” cerita peneliti di LSPR Centre for ASEAN Autism Studies, Hersnita, Ph.D dalam talkshow di Jakarta, Jumat, 13 Desember 2024.
Advertisement
“Namun, satu hari dia dipanggil sama pihak sekolah, katanya ‘Bu kami melihat anak ibu merokok’ tapi memang di luar sekolah. Jadi rupanya setelah pulang sekolah si anak enggak langsung pulang,” lanjut Hersinta.
Dijelaskan bahwa sang anak sudah cukup mandiri sehingga bisa berangkat dan pulang sekolah sendiri tanpa pendampingan.
“Dia nongkrong sama teman-teman di luar sekolah sambil merokok. Ketika ditanya alasan merokok ya karena ingin tahu aja dan kemudian dia merasa diterima di lingkungan pertemanan tersebut. Merasa setara, social smoker gitu kali ya kemudian berlanjut menjadi adiksi,” papar Hersnita.
Faktor Lain yang Bikin Penyandang Disabilitas Jadi Perokok
Dari kejadian ini, sambung Hersnita, maka dapat dipastikan bahwa keterlibatan keluarga dan lingkungan menjadi sangat penting dalam menentukan anak disabilitas konsumsi rokok atau tidak.
Selain merasa diterima di lingkungan pertemanan, ada berbagai faktor lain yang dapat membuat penyandang disabilitas menjadi seorang perokok.
Hersnita mengambil contoh hasil penelitian pada pelajar disabilitas di Amerika. Menurut penelitian yang telah ia baca, penyandang disabilitas di Amerika cenderung mengonsumsi rokok di usia lebih muda yakni sekitar di bawah 14 tahun. Beberapa pemicunya adalah gangguan emosi dan kesulitan belajar.
“Pelajar dengan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), disabilitas perkembangan, berpotensi untuk melakukan aktivitas merokok. Kemudian juga disabilitas dengan gangguan mobilitas, ini menggambarkan bahwa ternyata ada penyandang disabilitas yang memiliki kebiasaan merokok yang lebih tinggi di antara para pelajar,” jelas Hersnita.
Advertisement
Gegara Stigma dan Diskriminasi
Hersnita menambahkan, para pelajar penyandang disabilitas kerap mendapat stigma dan diskriminasi sehingga mereka lari pada kegiatan yang dianggap bisa merilis kesedihan salah satunya dengan merokok.
“Rokok juga jadi alasan untuk mengatasi kecemasan atau anxiety. Ketika digali lebih lanjut, kenapa mereka senang mengonsumsi rokok terutama rokok elektrik, mereka bilang ada perasaan high setelah menggunakan rokok elektrik,” jelas Hersnita.
Data di atas menunjukkan betapa kelompok disabilitas rentan terkena dampak bahaya rokok baik secara aktif maupun pasif.
“Ada kelompok disabilitas yang sangat rentan terkena (dampak) konsumsi rokok, salah satunya adalah disabilitas intelektual dan disabilitas kognitif. Jadi, kampanye anti rokok juga harus diprioritaskan bagi penyandang disabilitas,” ucap Hersnita.
Iklan Rokok Kian Bikin Pemuda Terjerat
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen di antaranya perokok berusia 10-18 tahun.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, saat ini iklan, sponsor, dan promosi rokok sangat mudah diakses oleh masyarakat. Termasuk oleh anak-anak dan remaja melalui berbagai platform.
Sebanyak 65,2 persen masyarakat bisa melihat iklan promosi rokok di tempat-tempat penjualan. Sementara, 56,8 persen melihat iklan rokok melalui televisi, video, dan film.
“Tak henti di situ, 60,9 persen iklan juga ditemui di media luar ruangan. Dan 36,2 persen melalui internet atau media sosial,” kata Nadia yang hadir secara daring dalam seminar yang sama.
Advertisement