Liputan6.com, Jakarta Pendidikan inklusif termasuk bagi penyandang disabilitas dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan menjadi dua hal penting yang perlu jadi perhatian.
Sadar akan hal ini, Direktur Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. dr. Rustamaji, M.Kes, mengajak pegiat pendidikan untuk berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan pendidikan inklusif.
Baca Juga
Dalam diskusi di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK), UGM, dibahas pula bahwa Yogyakarta memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. Pendidikan keberlanjutan menjadi poin penting selain mempertahankan kualitas, sehingga diperlukan kolaborasi untuk menghadapi tantangan pendidikan yang ada saat ini.
Advertisement
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, Drs. Suhirman, M.Pd., menyoroti program makan siang bersama yang diinisiasi oleh pemerintah. Menurutnya, jika program ini ingin berlanjut, tentunya bukan hanya makanan dan kandungan gizinya saja yang dipikirkan, tapi juga tantangan tentang tata kelola sampah yang akan dihadapi setiap hari.
“Tantangan kita di dunia pendidikan itu sangat kompleks sekali,” kata Suhirman mengutip keterangan pers yang dipublikasikan di laman UGM pada, Selasa (24/12/2024).
Perwakilan UNESCO Jakarta, Dr. Gunawan Zakki menyadari bahwa pendidikan untuk semua (inklusif) adalah salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Siapapun dengan latar belakang, agama, kemampuan, dan segala perbedaan harus mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Namun, ketersediaan data difabel yang terverifikasi menjadi kesulitan UNESCO dalam mendukung proses pembuatan kebijakan.
“Data ini kami ambil dari riset, studi, dan asesmen, sayangnya tidak terverifikasi sampai 100 persen padahal data-data ini yang kami gunakan untuk mendukung kebijakan pemerintah,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Mendukung Pendidikan Berkualitas untuk Semua
Koordinator Difapedia, Muhammad Karim Amrulloh, S.H., M.H., menuturkan, sebenarnya banyak sekali implementasi untuk mendukung terwujudnya pendidikan berkualitas untuk semua.
Misalnya, UGM dan UNY dengan unit layanan disabilitas. Kampus-kampus juga memberikan pelatihan-pelatihan kepada Dosen. Terdapat juga Organisasi non-profit yang bergerak untuk mendukung misi ini, misalnya Difapedia, Desamind, dan sebagainya yang secara rutin membuat program pelatihan-pelatihan untuk teman-teman difabel agar mereka bisa berdaya.
Sementara S.R. Widyastuti, S.Psi., selaku pendiri Sekolah Tumbuh menjelaskan, terkait intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler di Sekolah Tumbuh sebenarnya sama seperti sekolah lainnya. Namun demikian, ada perbedaan pengintegrasian supaya semua anak yang beragam kebutuhannya dapat menerima dengan baik materi yang diajarkan.
Ada adaptasi penting perlu dilaksanakan, yaitu adaptasi kurikulum dan adaptasi lingkungan belajar. Adaptasi kurikulum mencakup dua hal, yaitu substitusi di mana Sekolah Tumbuh berusaha mengganti materi yang tidak relevan dengan materi yang lebih sesuai dengan kemampuan siswa.
Ada pula modifikasi di mana Sekolah Tumbuh menyederhanakan kompetensi atau tujuan pembelajaran sesuai dengan hasil asesmen.
“Untuk adaptasi lingkungan, Sekolah Tumbuh sangat memerhatikan terkait manajemen kelas inklusif, penggunaan bahasa yang sesuai, hingga sarana dan prasarana juga turut diperhatikan,” ucapnya.
Advertisement
Kedaruratan Sampah di Yogyakarta
Rustamaji juga menyinggung terkait isu soal kedaruratan sampah yang masih menjadi permasalahan di Kota Yogyakarta.
“Kita masih memiliki masalah dalam pemilahan, daur ulang dan sebagainya. Masalah ini harus kita akui dan kita wajib carikan solusi penyelesaiannya,” kata Rustamji.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pemerti Kali Code sekaligus anggota senior Regional Center of Expertise (RCE) Yogyakarta, Totok Pratopo, mengungkapkan bahwa sejak pandemi, hampir nihil bantuan dari pemerintah dalam pengelolaan sampah di kota Yogyakarta.
Menurutnya, dulu pemerintah selalu mendukung dengan membayar masyarakat untuk membersihkan sungai. Namun saat ini, semuanya diperbantukan di depo-depo sampah. Ia juga mengungkapkan ketika adanya desentralisasi pengelolaan sampah, sungai menjadi kotor dan tercemar karena banyak yang membuang sampah ke sungai.
“Ketika ada sampah-sampah di pinggir jalan, banyak masyarakat yang melapor dan bisa segera ditindaklanjuti, tapi kalau dibuangnya di sungai gimana? Kami belum punya CCTV, yang dari pemerintah cuma ada empat, tentu kami sangat kewalahan,” ucapnya.
Sangat Perlu Kontribusi Pemerintah dan Masyarakat
Totok menegaskan, saat ini Pemerti Kali Code tengah berupaya menggerakkan masyarakat untuk mencintai lingkungan termasuk mencintai sungai. Membuat sungai menjadi cantik, membuka mata air, membudidayakan bunga dan lebah, membuat kampung menjadi ramah anak, hingga membuka sekolah sungai pemerti Kali Code.
Baginya, dukungan pemerintah dan inisiatif kontribusi dari masyarakat sangatlah diperlukan untuk menyelesaikan kedaruratan sampah di Yogyakarta.
Kondisi ini berbeda dengan pengelolaan sampah di Banyumas, Jawa Tengah. Menurut Ketua Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Mekarsari, Banyumas, Sidik Firmansyah, sejak 2019, pihaknya menerapkan dua sistem pengumpulan sampah.
“Sistem yang kami gunakan untuk pengumpulan sampah ada dua, melalui pengepul dan door to door. Kami di Banyumas juga ada bank sampah, ada masyarakat yang bekerja di bank sampah dan ada juga JekNyong (Ojek’e Inyong) yang mengambil sampah-sampah yang masih memiliki nilai ekonomis. Untuk sampah-sampah yang tidak ada nilai ekonomis, dikelola oleh TPST,” tuturnya.
Advertisement