Sukses

`Dewaraja`, Kemegahan Batik Iwan Tirta di Tangan Era Soekamto

Era Soekamto menyatakan suntikan nafas baru pada batik-batik Iwan Tirta di fashion show Dewaraja.

Liputan6.com, Jakarta Sejak pukul 7 malam, Senin 27 April 2015, lobby hotel eksklusif yang baru hadir di Jakarta, Fairmont, terus didatangi oleh banyak tamu yang elok mengenakan batik, pria maupun wanitanya. Arus tamu ini berujung pada foyeur dari ballroom hotel.

Pemandangan orang-orang berbatik lumrah dilihat di Indonesia. Ini menjadi satu poin tersendiri untuk mengukur seberapa dekat warisan kebudayaan tradisional tersebut dengan masyarakatnya yang dilingkupi perkembangan moderenitas yang mengglobal, termasuk perihal fesyen.

Akan tetapi kalaupun diasumsikan bahwa masyarakat Indonesia memang dekat dengan batik, kedekatan seperti apa yang terjadi antara keduanya? Turunan formulasi redaksional dari kalimat itu adalah pertanyaan yang berbunyi: Sekenal apa masyarakat Indonesia dengan batik?

Memang secara teknis, ada begitu banyak ragam motif batik. Tentu bukan tujuan utama dari pertanyaan yang diajukan adalah untuk membuat orang menjadi penghapal motif-motif batik beserta sejarah dan artinya. Yang lebih mendasar ialah bagaimana pemahaman akan batik dalam benak dapat mencakup dimensi-dimensi yang lebih jauh dari sekadar estetikanya.

Berbincang dengan Era Soekamto beberapa saat sebelum pagelaran busana dari label Iwan Tirta Private Collection dimulai malam itu, Creative Director dari label tersebut berkata, “Dan yang terpenting adalah bahwa orang-orang tahu tentang esensi ketuhanan pada batik”. Ke tingkat itulah Era ingin membawa masyarakat mengenal batik-batik karya Maestro Iwan Tirta.

Foto: Helmi A.

Perjalanan menuju konsep lapisan teratas dari realita spiritual yang dipandu oleh Era melalui sentuhan kreatifitasnya terhadap batik-batik Iwan Tirta itu diawali dengan 2 busana bersiluet `A` yang motifnya berwarna kontras dengan latarnya.

Adalah Samsara dan Nirwana yang dibicarakan oleh komposisi warna rancangan-rancangan pada sequence pertama fashion show tersebut. Falsafah Timur bicara tentang bagaimana cara seseorang dapat lepas dari Samsara – suatu kondisi siklus kebahagiaan dan penderitaan, ataupun secara teologis adalah siklus reinkarnasi – untuk menuju Nirwana, yakni kondisi dimana siklus Samsara tak lagi berlaku.

Foto: Helmi A.

Jembatan dari Samsara menuju Nirwana ialah apa yang ditampilkan oleh motif Pagerwesi Kala pada sebuah busana berlapis dengan model tanpa lengan dan berkerah cheongsam. Tema refleksi diri diangkat oleh rumusan motif di sequence ke-2 yang merujuk pada mirroring atau pencerminan.

Beberapa motif lain yang ditampilkan di sequence ini adalah Nogo Liman dan Nogo Sebho. Simbolisasi perjalanan spiritual yang digambarkan melalui rangkaian corak-corak batik Iwan Tirta di gelaran busana ini kemudian mencapai puncaknya pada sequence Antahkarana, yaitu gagasan akan realisasi tertinggi dari spiritualitas.

Foto: Helmi A.

Kreasi Iwan Tirta atas motif Poleng Bali yang tertuang dalam kemegahan tank dress Era Soekamto menjadi pamungkas dari rangkaian 60 looks di bawah tema besar Dewaraja. Di sepanjang berjalannya peragaan busana Dewaraja, mata memang tak putus dari kehebatan motif batik hasil karya sang maestro.

Namun satu hal lain yang juga tak boleh luput dari perhatian ialah bahwa fashion show tunggal pertama dari label ini sepeninggal Iwan Tirta pada tahun 2010 dapat dibaca sebagai statement of creative direction oleh seorang Era Soekamto selaku Creative Director Iwan Tirta Private Collection, pemangku tanggung jawab kelangsungan legasi Iwan Tirta di label itu.

Foto: Helmi A.

Ketika dapat disebut bahwa desain-desain busana yang ditampilkan di Senin malam itu berkesan glam, kosakata itu dalam koleksi ini mendapat pengertian yang hybrid antara garis sleek dari modernitas dan percikan nafas budaya ragam bangsa, misalnya kekhasan desain kain di salah satu bahu seperti pada busana adat Bali ataupun kerah cheongsam nan oriental atau juga model-model busana Eropa.

Permainan lipatan-lipatan dan aksen-aksen di bagian belakang busana berupa pita maupun jubah menjadi kekuatan tersendiri dari koleksi yang pemilihan motif-motifnya – dari sekitar 10.000 motif ciptaan Iwan Tirta – memerlukan riset selama setahun ini.

Foto: Helmi A.

Inilah sebuah kemegahan baru yang disuntikkan Era Soekamto pada karya-karya Iwan Tirta. Di tangannya, kemegahan batik sang maestro ini mendapat jiwa zaman kekinian dengan tetap menjaga ruang tampilnya rujukan akan akar budaya tradisional maupun juga inspirasi budaya mancanegara. (bio/ret)

Foto: Helmi A.