Sukses

Hijab, Budaya Pop, dan Mitos Kecantikan

Setelah artis Rina Nose memutuskan melepas hijab, perbincangan tentang hijab kembali hangat di kalangan masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta Setelah artis Rina Nose memutuskan melepas hijab, perbincangan tentang hijab kembali hangat di kalangan masyarakat. Ada yang menanggapinya dengan sinis dan dianggap hanya mencari sensasi, namun tak jarang juga yang menanggapi dengan biasa saja, berhijab atau tidak menjadi hak kebebasan tiap individu wanita.

Irsyad Ridho, peneliti studi budaya Universitas Negeri Jakarta kepada Liputan6.com, Kamis (17/11/2017) mengatakan, sebagai suatu pilihan berbusana, hijab saat ini telah memperoleh tempat yang wajar dan patut dihormati dalam pergaulan masyarakat Indonesia. Sejauh hijab tidak menjadi sarana peminggiran wanita dari ruang publik dan sarana diskriminasi terhadap perempuan yang lain yang tidak berhijab, hijab sebagai busana akan tetap diterima, bahkan bisa jadi alternatif dalam berbusana.

Lebih jauh dirinya mengatakan, pasca-reformasi dan terbukanya era kebebasan, hijab secara sosial juga diterima masyarakat Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap citra perempuan, yang kerap ditampilkan seronok dan mengundang hasrat seksual di media massa.

“Persoalan pelik muncul ketika makna perlawanan yang selama ini menjiwai praktik hijab, justru ditelikung oleh kepentingan industri ‘mitos kecantikan’ yang ada pada hijab itu sendiri,” kata Irsyad.

Semangat spiritualisme yang ada pada hijab, menurut Irsyad, kini justru dimanfaatkan secara canggih oleh industri pengembang mitos kecantikan untuk mengeruk keuntungan material.

“Dalam kasus ini, simbol-simbol Islam pun mulai dikomodifikasi menjadi objek konsumsi, dan ideologi konsumsi yang baru pun didengungkan, misalnya ada anggapan ‘beragama tapi tetap trendi’ atau ‘biar religius tapi tetap modis’,” ungkap Irsyad.

Bahkan saat hijab muncul dengan berbagai model, pola, corak, dan makin jadi ikon gaya hidup dalam dunia fashion, apalagi banyak dipakai selebritas, muncullah upaya untuk memberi label ‘Islamisasi’ pada perilaku konsumtif di dunia mode.

“Padahal kan yang terjadi justru adalah kapitalisasi Islam atau sebenarnya penaklukan semangat keagamaan oleh pasar, dunia bisnis itu sendiri,” kata Irsyad.

 

2 dari 2 halaman

Komunitas Hijabers

Hal tersebut dibenarkan Anin @hidyanindya dari @hijaberscommunitybogor. Saat dihubungi Liputan6.com dirinya mengakui, setelah dia dan komunitasnya eksis di dunia maya, banyak brand menawarkan kerjasama, bahkan bukan hanya produk hijab, melainkan juga produk-produk berlabel halal.

“Menurutku penggunaan hijab kembali ke pribadi masing-masing sih. Kalau di komunitasku makanya dijaga banget biar balance, malah lebih dibanyakin kegiatan sosialnya, pengajiannya, ketimbang event-event hijabers yang gak berfaedah. Kita juga pingin bisa tetap beribadah, memperkaya ilmu, membuktikan kalau wanita berhijab juga bisa diterima,” ungkap Anin menambahkan.