Liputan6.com, Jakarta SARA merupakan singkatan dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada isu-isu sensitif terkait keberagaman identitas dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Meski keberagaman merupakan kekayaan bangsa, namun isu SARA juga berpotensi menimbulkan konflik jika tidak dikelola dengan baik. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang pengertian SARA, jenis-jenisnya, dampaknya terhadap masyarakat, serta upaya pencegahan konflik SARA di Indonesia.
Pengertian SARA
SARA adalah akronim dari empat unsur identitas yang menjadi sumber keberagaman sekaligus potensi konflik dalam masyarakat Indonesia, yaitu:
- Suku: Kelompok etnis atau kesatuan sosial berdasarkan kesamaan budaya dan asal-usul.
- Agama: Sistem kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Ras: Golongan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik dan keturunan.
- Antargolongan: Kelompok-kelompok dalam masyarakat berdasarkan status sosial, ekonomi, politik, dll.
Secara lebih luas, SARA dapat diartikan sebagai pandangan atau tindakan yang didasari sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Istilah ini muncul pada masa Orde Baru sebagai upaya pemerintah untuk meredam potensi konflik akibat keberagaman di Indonesia.
Meski demikian, SARA sendiri sebenarnya bukan sesuatu yang negatif. Keberagaman SARA justru merupakan kekayaan dan ciri khas bangsa Indonesia sebagai negara multikultural. Yang menjadi masalah adalah ketika SARA dijadikan alasan untuk mendiskriminasi, menyerang, atau memecah belah masyarakat.
Advertisement
Jenis-Jenis SARA
Berdasarkan bentuk dan pelakunya, tindakan yang menyinggung SARA dapat dibagi menjadi tiga kategori utama:
1. SARA Individual
SARA individual meliputi tindakan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok kecil yang bersifat:
- Menyerang secara fisik atau verbal
- Melecehkan
- Menghina
- Mengintimidasi
- Mendiskriminasi
Contohnya adalah seseorang yang menghina suku atau agama tertentu di media sosial, atau sekelompok orang yang mengintimidasi penganut agama minoritas.
2. SARA Institusional
SARA institusional adalah tindakan yang dilakukan oleh lembaga atau institusi, baik pemerintah maupun swasta, yang membuat kebijakan atau aturan yang bersifat diskriminatif terhadap golongan tertentu. Misalnya:
- Perusahaan yang hanya menerima karyawan dari suku atau agama tertentu
- Sekolah yang melarang siswa mengenakan atribut keagamaan tertentu
- Pemerintah daerah yang membuat peraturan yang menguntungkan kelompok mayoritas
3. SARA Kultural
SARA kultural berkaitan dengan penyebaran ide, tradisi, atau pandangan yang bersifat diskriminatif antar golongan dalam masyarakat. Ini bisa terjadi melalui:
- Penyebaran stereotip negatif tentang suku atau agama tertentu
- Pengajaran sejarah yang bias dan memihak golongan tertentu
- Tradisi atau adat istiadat yang mengucilkan kelompok minoritas
SARA kultural seringkali lebih sulit dideteksi karena sudah mengakar dalam budaya masyarakat.
Dampak SARA Terhadap Masyarakat
Isu SARA yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat, antara lain:
1. Konflik dan Kekerasan
Sentimen SARA yang dibiarkan dapat memicu konflik horizontal antar kelompok masyarakat. Beberapa contoh konflik SARA yang pernah terjadi di Indonesia antara lain:
- Konflik Ambon (1999-2002) yang bermula dari pertikaian antara penduduk Kristen dan Muslim
- Konflik Sampit (2001) antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah
- Kerusuhan Mei 1998 yang menyasar etnis Tionghoa di berbagai kota besar
Konflik-konflik tersebut menimbulkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur, serta trauma berkepanjangan bagi masyarakat.
2. Diskriminasi dan Ketidakadilan
SARA dapat menjadi dasar diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan seperti:
- Akses terhadap pendidikan dan pekerjaan
- Pelayanan publik
- Partisipasi politik
- Penegakan hukum
Diskriminasi ini menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang dapat memicu kecemburuan dan konflik lebih lanjut.
3. Disintegrasi Bangsa
Jika dibiarkan, sentimen SARA dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Kelompok-kelompok yang merasa didiskriminasi atau tidak diakomodasi kepentingannya dapat memilih untuk memisahkan diri, seperti yang pernah terjadi di Timor Timur.
4. Hambatan Pembangunan
Konflik SARA menghabiskan energi dan sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan. Daerah-daerah yang sering dilanda konflik SARA cenderung tertinggal dalam hal pembangunan ekonomi dan infrastruktur.
5. Citra Buruk di Mata Internasional
Konflik SARA yang berlarut-larut dapat mencoreng citra Indonesia di mata dunia internasional. Hal ini dapat berdampak pada sektor pariwisata, investasi asing, serta posisi tawar Indonesia dalam hubungan internasional.
Advertisement
Upaya Pencegahan Konflik SARA
Mengingat potensi dampak negatifnya yang besar, diperlukan berbagai upaya untuk mencegah dan mengatasi konflik SARA di Indonesia. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pendidikan Multikultural
Penanaman nilai-nilai multikulturalisme sejak dini melalui pendidikan formal maupun informal sangat penting untuk membangun sikap toleran dan menghargai keberagaman. Kurikulum pendidikan perlu memasukkan materi tentang keberagaman budaya Indonesia serta nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu bangsa.
2. Dialog Antar Umat Beragama dan Antar Budaya
Forum-forum dialog yang mempertemukan tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang SARA dapat membangun saling pengertian dan mengurangi prasangka antar kelompok. Dialog ini bisa dilakukan di tingkat nasional maupun lokal.
3. Penegakan Hukum yang Tegas
Pemerintah perlu menindak tegas setiap tindakan yang mengandung unsur SARA, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. UU ITE dan KUHP memiliki pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku ujaran kebencian berbasis SARA.
4. Pembangunan Ekonomi yang Merata
Ketimpangan ekonomi seringkali menjadi pemicu konflik SARA. Pemerintah perlu memastikan pembangunan yang merata di seluruh wilayah Indonesia serta membuka akses yang sama bagi semua kelompok masyarakat.
5. Penguatan Peran Media
Media massa memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Media perlu didorong untuk menyajikan informasi yang berimbang dan mengedepankan jurnalisme damai, bukan malah memprovokasi sentimen SARA.
6. Pelestarian Kearifan Lokal
Banyak nilai-nilai kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia yang mengajarkan toleransi dan kerukunan. Nilai-nilai ini perlu dilestarikan dan direvitalisasi sebagai modal sosial dalam membangun keharmonisan.
7. Penguatan Identitas Nasional
Di tengah keberagaman SARA, perlu terus dipupuk rasa kebangsaan dan identitas nasional sebagai bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia, penghayatan Pancasila, serta perayaan hari-hari nasional dapat menjadi sarana pemersatu.
Peran Masyarakat dalam Mencegah Konflik SARA
Selain peran pemerintah, masyarakat juga memiliki tanggung jawab penting dalam mencegah konflik SARA. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:
1. Menghindari Stereotip dan Prasangka
Setiap individu perlu menyadari dan menghindari stereotip negatif terhadap kelompok SARA tertentu. Prasangka ini seringkali menjadi akar dari diskriminasi dan konflik.
2. Membangun Pertemanan Lintas SARA
Interaksi langsung dengan orang-orang dari latar belakang SARA yang berbeda dapat membantu mengurangi prasangka dan membangun saling pengertian.
3. Berhati-hati dalam Bermedia Sosial
Masyarakat perlu bijak dalam menggunakan media sosial, tidak mudah terprovokasi atau ikut menyebarkan konten yang mengandung unsur SARA.
4. Aktif dalam Kegiatan Sosial
Keterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang melibatkan berbagai kelompok dapat membangun kohesi sosial dan mengurangi sekat-sekat SARA.
5. Merayakan Keberagaman
Partisipasi dalam perayaan hari besar keagamaan atau budaya kelompok lain dapat menjadi sarana untuk saling mengenal dan menghargai perbedaan.
Advertisement
Tantangan dalam Mengatasi Isu SARA di Era Digital
Perkembangan teknologi informasi membawa tantangan baru dalam upaya mengatasi isu SARA. Beberapa tantangan tersebut antara lain:
1. Penyebaran Hoaks dan Ujaran Kebencian
Media sosial dan aplikasi pesan instan memudahkan penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian berbasis SARA. Konten-konten ini dapat dengan cepat memicu emosi dan memperkeruh suasana.
2. Pembentukan Echo Chamber
Algoritma media sosial cenderung mengelompokkan orang-orang dengan pandangan serupa, menciptakan "ruang gema" yang memperkuat prasangka dan stereotip negatif terhadap kelompok lain.
3. Anonimitas di Dunia Maya
Kemudahan untuk membuat akun anonim di internet membuat orang lebih berani menyebarkan konten SARA tanpa takut konsekuensi hukum.
4. Politisasi Isu SARA
Isu SARA seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok politik untuk kepentingan elektoral jangka pendek, terutama menjelang pemilihan umum.
Regulasi Terkait Isu SARA di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah membuat berbagai regulasi untuk mencegah dan menindak tindakan yang mengandung unsur SARA, antara lain:
1. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Pasal 28 ayat (2) UU ITE melarang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA.
2. UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
UU ini mengatur larangan diskriminasi ras dan etnis serta sanksi bagi pelanggarnya.
3. KUHP
Beberapa pasal dalam KUHP dapat digunakan untuk menjerat pelaku tindakan SARA, seperti Pasal 156 tentang pernyataan permusuhan terhadap golongan penduduk Indonesia.
4. UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
UU ini mengatur mekanisme pencegahan dan penanganan konflik sosial, termasuk yang disebabkan oleh isu SARA.
Advertisement
Studi Kasus: Penanganan Konflik SARA di Indonesia
Beberapa contoh penanganan konflik SARA di Indonesia yang dapat dijadikan pembelajaran:
1. Resolusi Konflik Poso
Konflik Poso yang berlangsung dari 1998-2001 berhasil diredam melalui Deklarasi Malino yang melibatkan tokoh-tokoh dari kedua pihak yang berkonflik. Perjanjian damai ini disusul dengan program-program rekonsiliasi dan pembangunan ekonomi.
2. Penanganan Kerusuhan Tanjung Balai 2016
Kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada 2016 berhasil diredam dengan cepat melalui koordinasi aparat keamanan dan tokoh masyarakat setempat. Pasca kejadian, dilakukan dialog-dialog antar umat beragama untuk memulihkan hubungan sosial.
3. Program Sister Village di Ambon
Pasca konflik Ambon, pemerintah setempat menginisiasi program Sister Village yang mempertemukan desa-desa Muslim dan Kristen untuk berdialog dan bekerja sama dalam berbagai bidang. Program ini berhasil memulihkan kepercayaan antar komunitas.
Peran Pendidikan dalam Mengatasi Isu SARA
Pendidikan memiliki peran krusial dalam membentuk generasi yang toleran dan menghargai keberagaman. Beberapa pendekatan pendidikan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Kurikulum Multikultural
Memasukkan materi tentang keberagaman budaya Indonesia dalam kurikulum sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
2. Pendidikan Karakter
Menanamkan nilai-nilai toleransi, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan melalui berbagai kegiatan di sekolah.
3. Program Pertukaran Pelajar
Menyelenggarakan program pertukaran pelajar antar daerah untuk memberikan pengalaman langsung berinteraksi dengan budaya yang berbeda.
4. Pelatihan Guru
Memberikan pelatihan kepada guru-guru tentang cara mengajarkan materi keberagaman dan menangani isu SARA di kelas.
Advertisement
Kesimpulan
SARA merupakan realitas yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Meski berpotensi menimbulkan konflik, keberagaman SARA sejatinya adalah kekayaan bangsa yang perlu dikelola dengan bijak. Diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, tokoh masyarakat, media, hingga setiap warga negara untuk mencegah konflik SARA dan membangun kehidupan berbangsa yang harmonis.
Pendekatan yang komprehensif, meliputi aspek hukum, pendidikan, sosial-budaya, dan ekonomi, diperlukan untuk mengatasi isu SARA. Yang tak kalah penting adalah membangun narasi kebangsaan yang inklusif, di mana setiap kelompok merasa dihargai dan memiliki tempat yang setara sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Dengan pemahaman yang tepat tentang SARA dan upaya bersama untuk mengelolanya, Indonesia dapat mewujudkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi tetap satu jua - dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence