Liputan6.com, Washingston DC: Majalah Newsweek, baru-baru ini, mengakui adanya kesalahan dalam sebagian artikel soal pelecehan Alquran di Penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba. Untuk itu, Editor Newsweek, Mark Whitaker, menulis permintaan maaf kepada para pembaca. Newsweek juga menyampaikan rasa dukacita bagi korban yang tewas dalam unjuk rasa yang dipicu artikel itu.
Whitaker menuturkan, berita itu diperoleh dari sebuah sumber di pemerintahan AS. Sebelum dimuat, penulisnya, Michael Isikoff dan John Barry, telah menemui dua pejabat Departemen Pertahanan AS untuk dimintai tanggapan. Belakangan Pentagon maupun narasumber dua penulis itu membantah dan meralat kesaksian.
Sebelumnya, artikel itu telah memicu protes keras umat Islam di sejumlah negara. Akibat protes itu sejumlah nyawa melayang. Dalam Newsweek edisi 9 Mei silam, para penyelidik militer AS menyatakan, sejumlah interogator tahanan menaruh beberapa Alquran di kamar mandi. Kitab suci umat Islam itu dibuang ke dalam toilet. Tindakan itu dilakukan untuk membuka mulut para tahanan Guantanamo [baca: Ratusan Mahasiswa Afghanistan Berdemonstrasi Anti-AS].(MAK/Uri)
Whitaker menuturkan, berita itu diperoleh dari sebuah sumber di pemerintahan AS. Sebelum dimuat, penulisnya, Michael Isikoff dan John Barry, telah menemui dua pejabat Departemen Pertahanan AS untuk dimintai tanggapan. Belakangan Pentagon maupun narasumber dua penulis itu membantah dan meralat kesaksian.
Sebelumnya, artikel itu telah memicu protes keras umat Islam di sejumlah negara. Akibat protes itu sejumlah nyawa melayang. Dalam Newsweek edisi 9 Mei silam, para penyelidik militer AS menyatakan, sejumlah interogator tahanan menaruh beberapa Alquran di kamar mandi. Kitab suci umat Islam itu dibuang ke dalam toilet. Tindakan itu dilakukan untuk membuka mulut para tahanan Guantanamo [baca: Ratusan Mahasiswa Afghanistan Berdemonstrasi Anti-AS].(MAK/Uri)