Liputan6.com, Nouakchott: Kudeta terhadap Presiden Mauritania Maaouya Ould Sid`Ahmed Taya kembali terjadi di ibu kota Mauritania, Nouakchott, Rabu (4/8). Kudeta tersebut dilancarkan para perwira militer Mauritania saat Presiden Taya tengah melayat ke Arab Saudi. Menurut para perwira militer Mauritania, kudeta itu telah berhasil dilancarkan dengan mengambil alih Markas Kepala Staf Militer Mauritania.
Kelompok militer pemberontak itu menamakan diri "Dewan Militer untuk Keadilan dan Demokrasi". Setelah mereka berhasil menguasai siaran stasiun radio dan televisi, kelompok militer ini mengumumkan telah menggulingkan Rezim Taya yang totaliter.
Dalam pengumumannya itu, Pemerintah Junta Militer Mauritania menyatakan akan mengendalikan kekuasaan selama dua tahun untuk memberi kesempatan berkembangnya institusi demokratis. Kudeta tersebut dilancarkan karena Presiden Taya telah menyengsarakan rakyat Mauritania dan telah menjalin hubungan dengan Amerika Serikat dan Israel.
Sebelumnya, Presiden Taya meraih kekuasaan atas Mauritania dengan cara kudeta, dua dekade silam. Ia dikenal sebagai politisi yang bertangan dingin dalam menghancurkan lawan-lawan politiknya.
Sementara itu, kudeta ini tak mendapat tanggapan dari Taya yang sedang berada di Arab Saudi untuk menghadiri pemakaman Raja Fahd bin Abdul Aziz. Taya tidak langsung pulang ke negerinya. Ia justru melanjutkan lawatannya ke Niger untuk bertemu dengan Presiden Tandja Mamadou dan menolak memberikan komentar atas kudeta tersebut. Dikabarkan, Taya kemungkinan akan berdiam di Niger selama beberapa hari.
Taya telah beberapa kali selamat dari upaya kudeta kelompok militer itu, termasuk kudeta pada 2003. Kudeta saat itu, sempat diwarnai pertempuran senjata di Nouakchott selama beberapa hari [baca: Kudeta Terhadap Presiden Mauritania Gagal].
Para pemimpin Afrika merupakan pihak yang pertama kali mengecam kudeta militer tersebut. Mereka menyatakan masa autokrasi dan pemerintahan militer sudah seharusnya ditinggalkan agar seluruh Benua Afrika dapat menikmati demokrasi.(ZIZ/Uri)
Kelompok militer pemberontak itu menamakan diri "Dewan Militer untuk Keadilan dan Demokrasi". Setelah mereka berhasil menguasai siaran stasiun radio dan televisi, kelompok militer ini mengumumkan telah menggulingkan Rezim Taya yang totaliter.
Dalam pengumumannya itu, Pemerintah Junta Militer Mauritania menyatakan akan mengendalikan kekuasaan selama dua tahun untuk memberi kesempatan berkembangnya institusi demokratis. Kudeta tersebut dilancarkan karena Presiden Taya telah menyengsarakan rakyat Mauritania dan telah menjalin hubungan dengan Amerika Serikat dan Israel.
Sebelumnya, Presiden Taya meraih kekuasaan atas Mauritania dengan cara kudeta, dua dekade silam. Ia dikenal sebagai politisi yang bertangan dingin dalam menghancurkan lawan-lawan politiknya.
Sementara itu, kudeta ini tak mendapat tanggapan dari Taya yang sedang berada di Arab Saudi untuk menghadiri pemakaman Raja Fahd bin Abdul Aziz. Taya tidak langsung pulang ke negerinya. Ia justru melanjutkan lawatannya ke Niger untuk bertemu dengan Presiden Tandja Mamadou dan menolak memberikan komentar atas kudeta tersebut. Dikabarkan, Taya kemungkinan akan berdiam di Niger selama beberapa hari.
Taya telah beberapa kali selamat dari upaya kudeta kelompok militer itu, termasuk kudeta pada 2003. Kudeta saat itu, sempat diwarnai pertempuran senjata di Nouakchott selama beberapa hari [baca: Kudeta Terhadap Presiden Mauritania Gagal].
Para pemimpin Afrika merupakan pihak yang pertama kali mengecam kudeta militer tersebut. Mereka menyatakan masa autokrasi dan pemerintahan militer sudah seharusnya ditinggalkan agar seluruh Benua Afrika dapat menikmati demokrasi.(ZIZ/Uri)