Sukses

Direktur Eksekutif WWF: Sampah Berbahaya Harus Dicermati

Volume sampah akan jauh berkurang jika masyarakat memilah sampah organik dan nonorganik. Sampah berbahaya harus dicermati karena bisa menyebarkan racun.

Liputan6.com, Jakarta: Partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup khususnya penanganan sampah harus dimulai dari rumah tangga. Dengan penduduk berjumlah kurang lebih sepuluh juta jiwa, setiap warga Jakarta, misalnya, rata-rata menghasilkan 2,9 liter sampah dalam sehari.

Data Dinas Kebersihan Pemerintah Daerah DKI Jakarta menyebutkan setiap hari timbunan sampah mencapai 25.650 meter kubik, sedangkan yang terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) sekitar 22.500 meter kubik. Sisanya, 3.150 meter kubik per hari tidak terangkut ke TPA. "Jika sampah dipilah antara sampah organik dan sampah nonorganik, serta dilakukan daur ulang, maka volume sampah jauh lebih berkurang," ujar Deputi Bidang Peran Masyarakat dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ari Zukardi saat berbincang dengan Nunung Setiyani di Studio Liputan 6 SCTV, Senin (22/4) siang.

Ari dan Direktur Eksekutif World Wildlife Fund Indonesia Agus Purnomo berbincang tentang peran masyarakat dalam memperingati Hari Bumi Sedunia yang jatuh pada hari ini. Menurut Ari, setiap pemda harus mengkampanyekan tentang pengelolaan sampah karena tak semua sampah harus dibuang. Sedangkan Agus berpendapat masyarakat yang bekerja di sektor informal seperti pemulung berjasa dalam mengelola sampah karena mereka melakukan reuse dan recycle.

Sementara itu, data Dinas Kebersihan Jakarta menyebutkan penyumbang terbesar sampah adalah rumah tangga yakni 51,2 persen, disusul perkantoran (16,7 persen), industri (15,22 persen), pasar Jaya (10,2 persen), pasar temporer (5,7 persen), dan jalan (0,99 persen).

Sedangkan jenis-jenis sampah terdiri dari sampah organik, nonorganik, dan sampah berbahaya. Sampah organik adalah sampah yang hancur secara alamiah dan dapat dibuat kompos. Jenis sampah ini berasal dari kebun, dapur, kertas potongan kecil, kain bekas dari bahan katun, dan kotoran hewan herbivora (pemakan tumbuhan). Sedangkan sampah nonorganik adalah sampah yang sulit atau tidak dapat hancur melalui proses alamiah. Sampah ini berasal dari kertas, kardus, koran dalam jumlah besar, kaca, gelas atau botol, kaleng, alumunium, botol, gelas plastik, dan kantong plastik kresek.

Sampah berbahaya tak boleh dibuang sembarangan karena tidak dapat didaur ulang atau digunakan kembali. Termasuk jenis sampah ini antara lain kertas pembungkus berlapis plastik, kantong plastik, pipa plastik PVC (polivinil klorida), papan sirkuit elekronik, baterai, kapsul dan pil sisa obat, gabus styrofoam, sampah rumah sakit, popok bayi sekali pakai, dan tekstil sintetis.

Dari ketiga jenis sampah itu, Agus berharap pembuangan sampah berbahaya harus dicermati. Dia mencontohkan sampah kegiatan pertanian seperti pengunaan pestisida atau sampah RS seperti botol infus bisa menghasilkan bahan beracun. Sedangkan Ari meminta masyarakat tak terlalu mengandalkan pemerintah karena keterbatasan sumber daya manusia. Celakanya, petugas Dinas Kebersihan di lapangan juga sukar membedakan sampah organik dan nonorganik.

Agus menuturkan proyek WWF dalam pengelolaan sampah dikonsentrasikan kepada Persitent Organic Pollutants. Sampah ini berdampak sangat luas kepada makhluk hidup dan bersifat jangka panjang. Pestisda, bahan-bahan elektronik, dan perangkat komputer, termasuk di dalamnya. "Kami tengah mengkampanyekan ini, namun belum kampanye bersama dengan Kantor Menneg LH," kata Agus.(COK)