Liputan6.com, Jakarta: Banyak kendala yang dihadapi petugas di lapangan untuk menyalurkan dana kompensasi bahan bakar minyak sebesar Rp 4,4 triliun. Hal itu berlaku juga untuk sektor kesehatan yang memperoleh alokasi dana sebesar Rp 950 miliar bagi 47,9 juta jiwa penduduk miskin di seluruh Indonesia [baca: Program Mengatasi Kenaikan BBM Disiapkan]. Dana itu meningkat dibanding tahun silam yang hanya Rp 550 miliar.
Namun kenyataan di lapangan, sejumlah warga tak dapat lagi menggunakan kartu sehat. Anteng, misalnya, pria sepuh yang berpenyakit paru-paru basah ini harus membayar saat berobat ke pusat kesehatan masyarakat. Padahal sejak dua tahun silam, ia gratis berobat dengan menggunakan kartu sehat. "Kemarin saya diminta membayar Rp 2.000. Kartunya dibilang nggak berlaku," kata dia.
Hal serupa dialami Ibu Chadijah Rohadi. Warga Jakarta yang sempat menikmati kartu sehat ini kini tak bisa lagi menggunakan fasilitas tersebut. Dampaknya, Chadijah tak bisa lagi memeriksakan kesehatan anaknya yang menderita tuberculosis (TBC). "Saya tidak mampu berobat karena harganya mahal," kata dia, saat berbincang dengan Arief Suditomo dari Ruang Redaksi Liputan 6 SCTV, Jumat (10/1) petang.
Dengan kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik, Chadijah mengaku kehidupan keluarganya biasa-biasa saja. Petugas puskesmas menyatakan, kartunya tak berlaku karena dinilai sudah memiliki penghasilan cukup dari sewa rumah kontrakan. "Saya tidak mampu karena kerjaan suami tidak tetap. Sewa kontrakan Rp 500 ribu sebulan hanya cukup untuk makan, belum untuk membayar listrik dan biaya sekolah anak," kata ibu berusia baya itu.
Menanggapi kenyataan ini, Menteri Kesehatan Achmad Sujudi mengatakan, ada kesulitan untuk menentukan kriteria keluarga miskin. Tim kelurahan yang terdiri dari pegawai pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat berpatokan, mereka yang berhak menerima dana kompensasi adalah yang berpenghasilan Rp 16 ribu sehari.
Menurut Menkes, semua dana sudah disebarkan ke para provider di rumah sakit dan bidan di desa. Untuk kasus Chadijah, dia menyarankan agar menghubungi pihak kelurahan bahwa kondisinya masih sulit. Untuk penyakit anaknya, obat khusus TBC bisa diminta di puskesmas. Para pemilik kartu juga diminta memperhatikan tanggal berlakunya. Jika telah habis, diharapkan segera mengurus untuk mendapat yang baru.
Di sisi lain, petugas tak bisa sembarangan memberikan kartu sehat karena bisa dianggap menyelewengkan dana oleh Badan Pemeriksa Keuangan jika kompensasi itu jatuh ke tangan yang tak berhak. "Saya selalu imbau petugas di lapangan, tolong jangan terlalu kaku. Tapi tidak melupakan hal-hal administratif," kata Menkes.(COK)
Namun kenyataan di lapangan, sejumlah warga tak dapat lagi menggunakan kartu sehat. Anteng, misalnya, pria sepuh yang berpenyakit paru-paru basah ini harus membayar saat berobat ke pusat kesehatan masyarakat. Padahal sejak dua tahun silam, ia gratis berobat dengan menggunakan kartu sehat. "Kemarin saya diminta membayar Rp 2.000. Kartunya dibilang nggak berlaku," kata dia.
Hal serupa dialami Ibu Chadijah Rohadi. Warga Jakarta yang sempat menikmati kartu sehat ini kini tak bisa lagi menggunakan fasilitas tersebut. Dampaknya, Chadijah tak bisa lagi memeriksakan kesehatan anaknya yang menderita tuberculosis (TBC). "Saya tidak mampu berobat karena harganya mahal," kata dia, saat berbincang dengan Arief Suditomo dari Ruang Redaksi Liputan 6 SCTV, Jumat (10/1) petang.
Dengan kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik, Chadijah mengaku kehidupan keluarganya biasa-biasa saja. Petugas puskesmas menyatakan, kartunya tak berlaku karena dinilai sudah memiliki penghasilan cukup dari sewa rumah kontrakan. "Saya tidak mampu karena kerjaan suami tidak tetap. Sewa kontrakan Rp 500 ribu sebulan hanya cukup untuk makan, belum untuk membayar listrik dan biaya sekolah anak," kata ibu berusia baya itu.
Menanggapi kenyataan ini, Menteri Kesehatan Achmad Sujudi mengatakan, ada kesulitan untuk menentukan kriteria keluarga miskin. Tim kelurahan yang terdiri dari pegawai pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat berpatokan, mereka yang berhak menerima dana kompensasi adalah yang berpenghasilan Rp 16 ribu sehari.
Menurut Menkes, semua dana sudah disebarkan ke para provider di rumah sakit dan bidan di desa. Untuk kasus Chadijah, dia menyarankan agar menghubungi pihak kelurahan bahwa kondisinya masih sulit. Untuk penyakit anaknya, obat khusus TBC bisa diminta di puskesmas. Para pemilik kartu juga diminta memperhatikan tanggal berlakunya. Jika telah habis, diharapkan segera mengurus untuk mendapat yang baru.
Di sisi lain, petugas tak bisa sembarangan memberikan kartu sehat karena bisa dianggap menyelewengkan dana oleh Badan Pemeriksa Keuangan jika kompensasi itu jatuh ke tangan yang tak berhak. "Saya selalu imbau petugas di lapangan, tolong jangan terlalu kaku. Tapi tidak melupakan hal-hal administratif," kata Menkes.(COK)