Sukses

<i>Malpraktik</i> Marak, Perlindungan Konsumen Masih Lemah

Dari semua kasus yang ada, posisi korban justru lebih lemah dibandingkan dokter. Kenyataan ini pula yang membuat korban frustrasi karena tak tahu harus berbuat apa. RUU Kedokteran belum melindungi hak pasien.

Liputan6.com, Jakarta: Dalam sebulan terakhir, banyak orang membicarakan kasus malpraktik atau malapraktik. Berbagai komentar meluncur deras dari mulut mereka. Sebagian besar dari mereka merasa prihatin dan miris. Apalagi, sudah banyak yang menjadi korban atas keteledoran para dokter ini. Namun, dari semua itu, yang paling menderita dan sedih adalah korban dan keluarga korban.

"Kenapa dokter harus melakukan cara seperti itu? Sedangkan cara lain kan masih bisa, umpamanya di-caesar," keluh Sugianto yang anaknya, Zaki, menjadi korban malpraktik. Ya, akibat penanganan dokter yang salah, sampai berusia tiga tahun, Zaki belum bisa bicara, berjalan, dan bermain. Di belakang Zaki masih banyak korban lain. Sebut saja Agian Isna Nauli, Fellina Azahara, dan Andreas [baca: Dua Lagi Kasus Malpraktik Terungkap].

Ironisnya, dari semua kasus yang ada, posisi korban justru lebih lemah dibandingkan para dokter. Kenyataan ini pula yang, terkadang, membuat korban frustrasi karena tak tahu harus berbuat apa. "Harus diakui, saat ini, perlindungan terhadap konsumen masih jauh di bawah dokter," kata aktivis lembaga swadaya manusia bidang kesehatan Marius Widjajarta dalam dialog pagi di Studio SCTV, Senin (30/8). Rancangan Undang-undang Kedokteran yang ada pun lebih berpihak pada dunia kedokteran [baca: :RUU Praktik Kedokteran Belum Melindungi Hak Pasien].

Untuk itu, Marius menyarankan, setiap pasien harus benar-benar menggunakan UU Perlindungan Konsumen Nomor 8/1999 tentang Hak-Hak Konsumen untuk berlindung. Selain itu, konsumen juga mempunyai payung hukum yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 756 tentang Standarisasi Pelayanan untuk Konsumen. "Biar tidak terjadi hukum rimba," ungkap Marius.

Menurut Marius, para dokter juga harus memiliki etika dalam menangani pasien. Sayangnya, sampai saat ini, di Indonesia belum ada standar etika untuk para dokter. Alhasil, mereka cuma berpatokan pada hati nurani. Namun pada kenyataannya, tambah dia, tak banyak dokter yang berhati baik. "Tak semua dokter malaikat," jelas dia.

Sementara mengenai apa yang harus diperbuat pasien bila menerima perawatan yang salah dari dokter, Marius mengatakan, sebaiknya mereka mengadu ke LSM bidang kesehatan. Namun, sebelumnya mereka harus terlebih dahulu memastikan kalau hal itu benar-benar malpraktik. Pasien juga bisa menempuh jalur hukum. "Agar para dokter tak mengeksklusifkan diri," beber Marius.(ICH)