Liputan6.com, Jakarta: Awan kelabu tengah menyelimuti dunia penerbangan nasional. Tiga kecelakaan pesawat terbang terjadi dalam kurun waktu 24 jam terakhir. Penyebab ketiga musibah itu hingga saat ini masih belum diketahui. Namun, untuk sementara cuaca buruk menjadi salah satu kemungkinan penyebab kecelakaan pesawat-pesawat itu. Selain itu, landasan yang licin karena tergenang air juga menjadi faktor penyebab lain ketiga insiden tersebut.
Tergelincirnya pesawat Boeing MD-82 milik maskapai penerbangan Lion Air di Bandar Udara Adisumarmo, Solo, Jawa Tengah, Selasa kemarin menjadi kecelakaan terparah. Pesawat rute Jakarta-Surabaya yang membawa 163 penumpang tidak dapat berhenti saat mendarat dan menabrak pagar pembatas. Badan pesawat dengan nomor JT-0538 yang memiliki 56.674 jam terbang dan 43.940 kali pendaratan itu nyaris terbelah sebelum akhirnya terperosok ke areal pekuburan. Peristiwa tragis ini mengakibatkan 31 orang tewas termasuk Pilot Lion Air Kapten Dwi Mawastoro dan melukai puluhan lainnya [baca: Jenazah Pilot Lion Air Ditemukan].
Beberapa jam sebelumnya, pesawat Bouraq jenis Boeing 737-200 di Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, sekitar pukul 13.15 WITA. Pesawat bernomor penerbangan BO-402 yang membawa 168 penumpang itu tergelincir dan keluar dari landasan pacu hingga sejauh 22 meter. Meski tidak ada korban jiwa dan luka-luka dalam peristiwa ini, sejumlah jadwal penerbangan terpaksa ditunda [baca: Bouraq Tergelincir di Bandara Hasanuddin].
Masih di bandara yang sama, sebuah pesawat tempur F-16 milik TNI Angkatan Udara tergelincir dari landasan pacu sejauh tiga meter saat hendak mendarat seusai latihan rutin dari Bandara Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, hari ini sekitar pukul 08.45 WITA. Pesawat yang diawaki Kapten Penerbang Satrio dan Kolonel Ismono itu patah roda bagian depan. Menurut keterangan Komandan Lapangan Udara (Danlanud) Hasanuddin Kolonel Penerbang Bambang Sulistio, saat pesawat mendarat, sistem pengereman tidak optimal [baca: Pesawat F-16 Tergelincir Ketika Hendak Mendarat].
Berangkat dari ketiga kasus itu, cuaca yang saat sedang tidak bersahabat seharusnya mendapat perhatian khusus lembaga yang terkait dalam masalah transportasi udara. Peringatan dini dari Air Control mengenai cuaca harus secara akurat diberikan kepada para penerbang. Larangan pendaratan misalnya, harus diberikan jika landasan memang kebanjiran.
Selain faktor alam itu, masih terdapat beberapa faktor lain yang tak kalah penting dalam keamanan dan keselamatan penerbangan seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001. Kelaikan udara atau terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hanyalah salah satu dari delapan syarat keandalan operasional pesawat udara. Dua persyaratan lain yang penting adalah rancang bangun pesawat yang memiliki validasi sertifikat tipe dan perawatan pesawat.
Di sisi lain, maraknya maskapai penerbangan lokal yang seolah berlomba untuk memberikan layanan terbang murah. Tren ini justru menimbulkan pertanyaan mengenai kelayakan pesawat yang digunakan. Tidak heran bila berembus kabar mengenai adanya sejumlah pesawat kargo yang diubah menjadi pesawat penumpang komersial. Selain itu, transparansi mengenai perawatan pesawat nyaris tidak ada. Konsumen tidak memiliki wakil yang bisa memberi keyakinan bahwa satu pesawat layak untuk terbang. Padahal, konsumen tidak hanya membutuhkan harga tiket yang murah tapi keselamatan penerbangan.(TOZ/Tim Liputan 6 SCTV)
Tergelincirnya pesawat Boeing MD-82 milik maskapai penerbangan Lion Air di Bandar Udara Adisumarmo, Solo, Jawa Tengah, Selasa kemarin menjadi kecelakaan terparah. Pesawat rute Jakarta-Surabaya yang membawa 163 penumpang tidak dapat berhenti saat mendarat dan menabrak pagar pembatas. Badan pesawat dengan nomor JT-0538 yang memiliki 56.674 jam terbang dan 43.940 kali pendaratan itu nyaris terbelah sebelum akhirnya terperosok ke areal pekuburan. Peristiwa tragis ini mengakibatkan 31 orang tewas termasuk Pilot Lion Air Kapten Dwi Mawastoro dan melukai puluhan lainnya [baca: Jenazah Pilot Lion Air Ditemukan].
Beberapa jam sebelumnya, pesawat Bouraq jenis Boeing 737-200 di Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, sekitar pukul 13.15 WITA. Pesawat bernomor penerbangan BO-402 yang membawa 168 penumpang itu tergelincir dan keluar dari landasan pacu hingga sejauh 22 meter. Meski tidak ada korban jiwa dan luka-luka dalam peristiwa ini, sejumlah jadwal penerbangan terpaksa ditunda [baca: Bouraq Tergelincir di Bandara Hasanuddin].
Masih di bandara yang sama, sebuah pesawat tempur F-16 milik TNI Angkatan Udara tergelincir dari landasan pacu sejauh tiga meter saat hendak mendarat seusai latihan rutin dari Bandara Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, hari ini sekitar pukul 08.45 WITA. Pesawat yang diawaki Kapten Penerbang Satrio dan Kolonel Ismono itu patah roda bagian depan. Menurut keterangan Komandan Lapangan Udara (Danlanud) Hasanuddin Kolonel Penerbang Bambang Sulistio, saat pesawat mendarat, sistem pengereman tidak optimal [baca: Pesawat F-16 Tergelincir Ketika Hendak Mendarat].
Berangkat dari ketiga kasus itu, cuaca yang saat sedang tidak bersahabat seharusnya mendapat perhatian khusus lembaga yang terkait dalam masalah transportasi udara. Peringatan dini dari Air Control mengenai cuaca harus secara akurat diberikan kepada para penerbang. Larangan pendaratan misalnya, harus diberikan jika landasan memang kebanjiran.
Selain faktor alam itu, masih terdapat beberapa faktor lain yang tak kalah penting dalam keamanan dan keselamatan penerbangan seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001. Kelaikan udara atau terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hanyalah salah satu dari delapan syarat keandalan operasional pesawat udara. Dua persyaratan lain yang penting adalah rancang bangun pesawat yang memiliki validasi sertifikat tipe dan perawatan pesawat.
Di sisi lain, maraknya maskapai penerbangan lokal yang seolah berlomba untuk memberikan layanan terbang murah. Tren ini justru menimbulkan pertanyaan mengenai kelayakan pesawat yang digunakan. Tidak heran bila berembus kabar mengenai adanya sejumlah pesawat kargo yang diubah menjadi pesawat penumpang komersial. Selain itu, transparansi mengenai perawatan pesawat nyaris tidak ada. Konsumen tidak memiliki wakil yang bisa memberi keyakinan bahwa satu pesawat layak untuk terbang. Padahal, konsumen tidak hanya membutuhkan harga tiket yang murah tapi keselamatan penerbangan.(TOZ/Tim Liputan 6 SCTV)