Liputan6.com, Meulaboh: Memasuki hari kesembilan pascagelombang Tsunami atau Senin (3/1), aktivitas Kota Meulaboh, Aceh Barat, Nanggroe Aceh Darussalam mulai pulih. Warga yang berada di kawasan sekitar tiga kilometer dari pusat kota mulai membuka tempat usahanya seperti toko atau warung.
Dari pemantauan SCTV, warga mulai berniaga dengan menyediakan berbagai keperluan seperti kebutuhan pangan dan sandang. Namun, harga bahan pokok melonjak hingga 50 persen dari harga normal karena tersendatnya pasokan. Selain itu, beberapa warga juga terlihat menyediakan jasa reparasi dengan membuka kembali kios-kios bengkelnya.
Berbarengan dengan itu sejumlah alat berat tiba di Meulaboh untuk membersihkan bangkai bangunan. Sayang, jumlahnya belum memadai karena Tsunami telah menghancurkan hampir 80 persen infrastruktur kota [baca: Meulaboh Masih Terisolasi]. Tak hanya itu, onggokan mayat juga masih terlihat di sana-sini. Belum dievakuasi.
Bantuan memang terus mengalir ke Meulaboh, namun sejumlah warga masih saja terlihat mengumpulkan barang-barang bekas milik korban. Mereka terpaksa mengais-ngais barang yang sekiranya masih bisa digunakan. Warga mengambil apa saja yang hanyut terbawa gelombang Tsunami.
Kabar buruk berembus dari Lhokseumawe. Keadaan sekitar lima ribu pengungsi di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, mengkhawatirkan. Mereka terpaksa tidur berdesakan karena minimnya tenda. Curah hujan yang tinggi juga membuat tenda pengungsi kebanjiran. Kondisi mereka rentan penyakit, terutama kolera dan kulit, apalagi sanitasi di penampungan buruk [baca: Korban Tsunami Kesulitan Air Bersih].
Menurut pengawas pengungsi Inspektru Satu Abdul Manaf, bila hujan terus mengguyur pengungsi akan dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi seperti ke Islamic Center Lhokseumawe. Namun itu juga bukan tanpa resiko. Dia khawatir tempat yang ada tak mampu penampung semua pengungsi yang berasal dari tiga desa di pesisir pantai Lhokseumawe.
Walau menderita, acungan dua jempol patut dialamatkan kepada mereka. Meski kelelahan dan kekurangan makan, mereka tetap berusaha mencari anggota keluarga yang hilang dalam bencana. Di siang hari, pengungsi meninggalkan kamp dan berjalan tanpa tujuan jelas. Mereka keliling kota untuk mencari sanak keluarganya.
Demikian pula dengan keluarga korban yang ada di luar Aceh. Ibu Fatimah, misalnya, yang datang dari Jambi ke tempat penampungan Mata Ie, Banda Aceh. Perempuan ini hendak mencari ayah, adik, dan kakaknya. Sayang, sejauh ini usahanya belum membuahkan hasil dan dia bertekad terus mencari keberadaan keluarganya di lokasi pengungsian lain yang tersebar di Banda Aceh dan sekitarnya.
Suasana Kota Banda Aceh terasa sangat mencekam bila malam menyapa. Bau bangkai menyengat di seantero kota. Apalagi aliran listrik belum merata. Alhasil sebagian besar wilayah Ibu Kota Aceh itu gelap gulita. Listrik hanya menyala di pinggiran kota yang tak terlampau parah terkena bencana. Yang agak melegakan, kini, Masjid Baiturrahman sudah mulai diterangi listrik setelah mendapat bantuan penerangan dari genset milik PLN.
Menurut Direktur Transmisi dan Distribusi PLN Herman Daniel Ibrahim, pihaknya memerlukan waktu enam pekan untuk memperbaiki jaringan listrik di Kota Banda Aceh. Karena itu, bantuan genset sangat penting untuk memberi pasokan listrik.
Sementara itu ratusan pengungsi yang ditampung di rumah-rumah warga Medan, Sumatra Utara, mulai mengeluh karena belum menerima bantuan. Fasilitas yang tersedia di penampungan sangat minim. Mereka tidur beralaskan tikar dan papan. Air bersih pun sangat terbatas. Kondisi ini membuat para pengungsi, terutama anak-anak mulai terserang penyakit.
Dari pemantauan SCTV, posko penaggulangan bencan lebih memusatkan perhatian untuk menyalurkan bantuan Aceh. Sedangkan Dinas Sosial setempat hanya mempersiapkan dua tempat penampungan di Wisma Transito. Selama ini, pengungsi hanya menerima bantuan bahan makanan dan pakaian dari warga.(TOZ/Tim Liputan 6 SCTV)
Dari pemantauan SCTV, warga mulai berniaga dengan menyediakan berbagai keperluan seperti kebutuhan pangan dan sandang. Namun, harga bahan pokok melonjak hingga 50 persen dari harga normal karena tersendatnya pasokan. Selain itu, beberapa warga juga terlihat menyediakan jasa reparasi dengan membuka kembali kios-kios bengkelnya.
Berbarengan dengan itu sejumlah alat berat tiba di Meulaboh untuk membersihkan bangkai bangunan. Sayang, jumlahnya belum memadai karena Tsunami telah menghancurkan hampir 80 persen infrastruktur kota [baca: Meulaboh Masih Terisolasi]. Tak hanya itu, onggokan mayat juga masih terlihat di sana-sini. Belum dievakuasi.
Bantuan memang terus mengalir ke Meulaboh, namun sejumlah warga masih saja terlihat mengumpulkan barang-barang bekas milik korban. Mereka terpaksa mengais-ngais barang yang sekiranya masih bisa digunakan. Warga mengambil apa saja yang hanyut terbawa gelombang Tsunami.
Kabar buruk berembus dari Lhokseumawe. Keadaan sekitar lima ribu pengungsi di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, mengkhawatirkan. Mereka terpaksa tidur berdesakan karena minimnya tenda. Curah hujan yang tinggi juga membuat tenda pengungsi kebanjiran. Kondisi mereka rentan penyakit, terutama kolera dan kulit, apalagi sanitasi di penampungan buruk [baca: Korban Tsunami Kesulitan Air Bersih].
Menurut pengawas pengungsi Inspektru Satu Abdul Manaf, bila hujan terus mengguyur pengungsi akan dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi seperti ke Islamic Center Lhokseumawe. Namun itu juga bukan tanpa resiko. Dia khawatir tempat yang ada tak mampu penampung semua pengungsi yang berasal dari tiga desa di pesisir pantai Lhokseumawe.
Walau menderita, acungan dua jempol patut dialamatkan kepada mereka. Meski kelelahan dan kekurangan makan, mereka tetap berusaha mencari anggota keluarga yang hilang dalam bencana. Di siang hari, pengungsi meninggalkan kamp dan berjalan tanpa tujuan jelas. Mereka keliling kota untuk mencari sanak keluarganya.
Demikian pula dengan keluarga korban yang ada di luar Aceh. Ibu Fatimah, misalnya, yang datang dari Jambi ke tempat penampungan Mata Ie, Banda Aceh. Perempuan ini hendak mencari ayah, adik, dan kakaknya. Sayang, sejauh ini usahanya belum membuahkan hasil dan dia bertekad terus mencari keberadaan keluarganya di lokasi pengungsian lain yang tersebar di Banda Aceh dan sekitarnya.
Suasana Kota Banda Aceh terasa sangat mencekam bila malam menyapa. Bau bangkai menyengat di seantero kota. Apalagi aliran listrik belum merata. Alhasil sebagian besar wilayah Ibu Kota Aceh itu gelap gulita. Listrik hanya menyala di pinggiran kota yang tak terlampau parah terkena bencana. Yang agak melegakan, kini, Masjid Baiturrahman sudah mulai diterangi listrik setelah mendapat bantuan penerangan dari genset milik PLN.
Menurut Direktur Transmisi dan Distribusi PLN Herman Daniel Ibrahim, pihaknya memerlukan waktu enam pekan untuk memperbaiki jaringan listrik di Kota Banda Aceh. Karena itu, bantuan genset sangat penting untuk memberi pasokan listrik.
Sementara itu ratusan pengungsi yang ditampung di rumah-rumah warga Medan, Sumatra Utara, mulai mengeluh karena belum menerima bantuan. Fasilitas yang tersedia di penampungan sangat minim. Mereka tidur beralaskan tikar dan papan. Air bersih pun sangat terbatas. Kondisi ini membuat para pengungsi, terutama anak-anak mulai terserang penyakit.
Dari pemantauan SCTV, posko penaggulangan bencan lebih memusatkan perhatian untuk menyalurkan bantuan Aceh. Sedangkan Dinas Sosial setempat hanya mempersiapkan dua tempat penampungan di Wisma Transito. Selama ini, pengungsi hanya menerima bantuan bahan makanan dan pakaian dari warga.(TOZ/Tim Liputan 6 SCTV)