Liputan6.com, Tokyo: Sejarah memang tak pernah mati. Dan salah satu cara mengisahkan peristiwa bersejarah adalah melalui film. Dengan alasan itulah, sutradara asal Jepang, Junya Sato, mengangkat ke layar lebar kisah nyata yang telah diceritakan secara turun-temurun di Jepang.
Film yang akan beredar pada Desember mendatang itu berjudul Yamato the Last Battle (judul aslinya Otokotachi no Yamato). Ceritanya berkisar pada kepahlawanan dan nasib tragis yang dialami kapal perang Jepang itu ketika ditenggelamkan pihak sekutu. Potret tentang kehidupan para pelaut Negeri Samurai tergambar jelas dalam film ini.
Selain itu, cerita tentang bagaimana dampak psikologis dari perang yang dialami oleh para pelaut Jepang mendapat porsi terbesar. Pemikiran dan pendapat mengenai perang juga dimunculkan lewat anggota keluarga mereka yang masih hidup. Sejalan dengan pesan yang dibawa film ini, mereka menuturkan bahwa perang hanya akan membawa kerugian bagi umat manusia.
Mengambil lokasi di bekas tempat pembuatan kapal laut di Pulau Mukai, Hiroshima, film ini menampilkan tiruan kapal Yamato dalam ukuran yang sebenarnya. Kapal yang saat itu diklaim sebagai kapal perang terbesar di dunia memiliki berat 64 ribu ton dengan panjang 263 meter dan lebar 40 meter.
Dalam jumpa pers yang digelar baru-baru ini di Tokyo, sutradara dan para aktor mengungkapkan kesan-kesannya setelah terlibat dalam film beranggaran 600 juta yen itu. Menurut mereka, generasi muda patut menyaksikan film ini untuk mengetahui kekejaman perang dan betapa mahal harga yang harus dibayar Negeri Matahari Terbit untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan seperti sekarang.
Sejarah Jepang mencatat, Yamato tenggelam setelah dihantam serangan dari laut dan udara oleh armada Amerika Serikat di lepas pantai Kyushu pada 7 April 1945. Serangan yang dilancarkan 350 pesawat tempur itu membuat Yamato perlahan tenggelam 22 jam sejak gempuran pertama dan menewaskan 3.000 orang di dalamnya. Kini, reruntuhan kapal itu masih dapat dilihat di dasar laut lepas pantai Kyushu.(ADO/Idr)
Film yang akan beredar pada Desember mendatang itu berjudul Yamato the Last Battle (judul aslinya Otokotachi no Yamato). Ceritanya berkisar pada kepahlawanan dan nasib tragis yang dialami kapal perang Jepang itu ketika ditenggelamkan pihak sekutu. Potret tentang kehidupan para pelaut Negeri Samurai tergambar jelas dalam film ini.
Selain itu, cerita tentang bagaimana dampak psikologis dari perang yang dialami oleh para pelaut Jepang mendapat porsi terbesar. Pemikiran dan pendapat mengenai perang juga dimunculkan lewat anggota keluarga mereka yang masih hidup. Sejalan dengan pesan yang dibawa film ini, mereka menuturkan bahwa perang hanya akan membawa kerugian bagi umat manusia.
Mengambil lokasi di bekas tempat pembuatan kapal laut di Pulau Mukai, Hiroshima, film ini menampilkan tiruan kapal Yamato dalam ukuran yang sebenarnya. Kapal yang saat itu diklaim sebagai kapal perang terbesar di dunia memiliki berat 64 ribu ton dengan panjang 263 meter dan lebar 40 meter.
Dalam jumpa pers yang digelar baru-baru ini di Tokyo, sutradara dan para aktor mengungkapkan kesan-kesannya setelah terlibat dalam film beranggaran 600 juta yen itu. Menurut mereka, generasi muda patut menyaksikan film ini untuk mengetahui kekejaman perang dan betapa mahal harga yang harus dibayar Negeri Matahari Terbit untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan seperti sekarang.
Sejarah Jepang mencatat, Yamato tenggelam setelah dihantam serangan dari laut dan udara oleh armada Amerika Serikat di lepas pantai Kyushu pada 7 April 1945. Serangan yang dilancarkan 350 pesawat tempur itu membuat Yamato perlahan tenggelam 22 jam sejak gempuran pertama dan menewaskan 3.000 orang di dalamnya. Kini, reruntuhan kapal itu masih dapat dilihat di dasar laut lepas pantai Kyushu.(ADO/Idr)