Liputan6.com, Beijing Teror pisau tak kalah mengerikan dari bom. Seperti yang terjadi di stasiun kereta api Kunming. Sekelompok penyerang dengan senjata tajam terhunus membabi buta menusuk siapa saja yang ada di dekat mereka. Setidaknya 29 orang tewas, Negeri Tirai Bambu dibuat mencekam. Salah satu media lokal bahkan menjuluki insiden tersebut sebagai '9/11 China'.
Kantor berita Xinhua menyebut 'kekuatan separatis Xinjiang' di balik teror tersebut -- nada yang sama dengan Pemerintah Beijing. Tetapi kelompok-kelompok hak asasi manusia berpendapat bahwa kebijakan represif China di wilayah itu memicu konflik.
Apa dan di mana sebenarnya Xinjiang?
Xinjiang adalah wilayah yang kaya mineral dan sumber daya. Menjadi rumah bagi sekitar 9 juta Uighur -- etnis minoritas Turki yang sebagian besar adalah Muslim. Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 100 orang tewas dalam rentetan kekerasan di daerah otonom itu.
Dan menyusul insiden di Kunming, para pemimpin China mengkhawatirkan kekerasan di Xinjiang meluas ke tempat lain.
Pada Oktober 2013 lalu, pejabat China menyatakan, militan dari wilayah itu terlibat dalam apa yang diduga sebagai serangan bunuh diri di Lapangan Tiananmen, yang secara simbolis jadi jantung kekuasaan Negeri Tirai Bambu.
"Serangan ini adalah perkembangan signifikan dalam lintasan terorisme China," kata Rohan Gunaratna, dosen di Nanyang Technological University Singapura yang intens mempelajari kasus terorisme di Asia, termasuk China.
"Itu adalah serangan berbiaya rendah dengan dampak besar yang memicu publisitas besar-besaran," kata dia. "Ekstremis Uighur menunjukkan bahwa mereka bisa melancarkan serangan jauh dari basis operasi mereka."
Ketegangan di Xinjiang sudah berlangsung lama. Selama tahun 1990-an, ada lonjakan sentimen nasionalis warga Uighur setelah beberapa negara Asia Tengah memperoleh kemerdekaan -- setelah runtuhnya Uni Soviet.
Beijing menekan demonstrasi menuntut kemerdekaan itu dalam apa yang mereka sebut sebagai kampanye 'pukulan keras'.
Sejak itu, China kerap menyalahkan kekuatan luar sebagai pemicu kekerasan, termasuk kerusuhan etnis yang serius pada 2009 yang menewaskan sekitar 200 orang -- terutama etnis Han.
Secara khusus pihak berwenang China menuding kelompok Eastern Turkestan Islamic Movement (ETIM) merencanakan serangan.
Dalam sebuah artikel baru-baru ini, ahli terorisme dari Michigan University, Philip Potter mengatakan, tindakan keras China Xinjiang memaksa separatis paling militan pergi ke negara-negara tetangga seperti Pakistan dan Afghanistan.
Mereka menjalin aliansi strategis dengan kelompok yang berafiliasi dengan al- Qaeda dan Taliban. Ia menyimpulkan, pembibitan tersebut berpotensi secara substansial meningkatkan kecanggihan dan kemampuan membunuh kelompok teror di China.
Namun, analis lain meragukan pendapat itu dan menyebut, tak ada bukti yang menunjukkan bahwa ETIM atau kelompok lain ada di balik kekerasan. Justru China yang diduga memainkan isu tersebut untuk menjustifikasi kebijakan keamanan superketat di wilayah tersebut.
'Dinding pun Bisa Mendengar'
Kelompok hak asasi manusia sudah lama menyoroti pembatasan Beijing atas praktik agama Islam, budaya dan bahasa Uighur. Itulah diduga menjadi penyebab konflik.
Jurnalis asing yang meliput di Xinjiang selalu dikuntit aparat, membuat sulit untuk menilai situasi di lapangan.
Sejumlah penduduk menyebut konflik makin meningkat setelah aparat China memerintahkan pria Muslim yang taat untuk mencukur habis jenggot mereka. Banyak orang Uighur juga membenci masuknya orang Han ke wilayah mereka -- menuding migrasi massal etnis itu sengaja untuk melemahkan penduduk lokal.
Warga Uighur juga mengeluh bahwa mereka tidak mendapatkan keuntungan di tengah booming ekonomi China.
"Alasan mengapa Xinjiang adalah bermasalah karena pembangunan di wilayah tersebut tak seimbang," kata Xiong Kunxin, dosen China Ethnic Theory di China Minzu University.
Profesor Xiong mengatakan bahwa mempercepat pembangunan di daerah tersebut akan membantu mengatasi masalah.
Namun para analis lain yakin, bahwa masalahnya lebih berakar dari sekedar soal bagi-bagi kue kemakmuran. "Ini sikap kolonial umum pejabat China pada Uighur yang menghasilkan kebencian besar," kata Michael Dillon, seorang akademisi dan penulis buku Xinjiang: China's Muslim Far Northwest.
Untuk mengendalikan situasi, ia berpendapat, Beijing harus membuat keputusan. "Xinjiang perlu menjadi daerah yang benar-benar otonom," kata Dillon. Namun, seperti halnya Tibet --Â tak mungkin. (Yus Ariyanto)
Baca juga:
Kisah Horor Pembantaian `Pendekar Berpisau` di China
Serangan Teroris di Stasiun Kunming, China Tuding Separatis Xinjiang
Advertisement