Liputan6.com, Damaskus - Perang saudara di Suriah telah berlangsung hampir 3 tahun. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda konflik antara pasukan pemerintah dan oposisi di Suriah bakal mereda. Bahkan analis politik Amerika Serikat Daveed Gartenstein-Ross menilai perang bisa terus terjadi hingga 10 tahun mendatang.
"Skenario paling mungkin, seperti yang diprediksi komunitas intelijen Amerika, bahwa perang akan berlanjut hingga 1 dekada atau lebih," ujar Daveed, seperti dimuat Your Middle East, Jumat (7/3/2014).
Menurut dia, prediksi perang masih berkecamuk 10 tahun lagi itu lantaran pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad kini mendapatkan dukungan terang-terangan dari Iran dan Rusia.
"Assad telah memilih strategi perang "Machiavellian" (menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan). Dia didukung kelompok militan al-Nusra dan Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) atau Negara Islam Irak dan Syam," jelas Daveed.
Kondisi tersebut, lanjut dia, membuat Amerika Serikat harus berperang melawan 2 kubu, yakni tentara pemerintah dan para militan al-Nusra dan ISIL.
Selain itu, Assad tidak hanya ditopang keuangan dan persenjataan militer yang canggih, tapi juga pengaruh dari Iran dan Rusia untuk membiarkan kelompok militan ikut campur dalam perang Suriah.
"Para militan kini sedang memegang kendali dan menghalangi negara Barat. Mereka juga sudah bisa menunjukkan kekuatannya," ujar Daveed.
Perang saudara di Suriah terjadi sejak Maret 2011. Hingga kini korban jiwa terus berjatuhan. Jumlah pengungsi pun bertambah. Sejauh ini, ada sekitar 140 ribu orang tewas dan sekitar 2,5 juta warga Suriah mengungsi ke luar negeri dan sekitar 6,5 juta jiwa lainnya kehilangan tempat tinggal.
Dialog telah diupayakan di Jenewa, Swiss, akhir Februari 2014 yang diinisiasi AS dan Rusia. Namun tak membuahkan hasil meski sudah berlangsung 2 kali. (Yus Ariyanto)
Baca juga:
Advertisement