Liputan6.com, Jakarta - Ketua Tim Khusus Negosiasi Kasus TKI Satinah Maftuh Basyuni tersinggung dengan pernyataan Menko Kesra Agung Laksono, yang mensinyalir adanya mafia diyat atau uang darah dalam kasus Satinah -- TKI yang divonis hukuman mati di Arab Saudi.
"Secara kebetulan, saya dan rombongan yang sejak awal tangani Satinah, saya tersinggung," tegas Maftuh di Media Center Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Selasa (15/4/2014).
Maftuh menilai, pernyataan Agung Laksono menujukan sikap yang tidak bijaksana. Sebab, ia bersama timnya merupakan pihak yang dipercayai Pemerintah RI untuk negosiasi jumlah dana diyat dengan keluarga korban yang juga majikan Satinah itu.
"Tanyakan pada Menkokesra. Kalau memang ada mafia diyat, kebetulan Satinah itu saya yang dari awal mengadakan, saya sangat tersinggung," ketus Mantan Menteri Agama Kabinet Indonesia Bersatu I itu.
Maftuh pun menunggu konfirmasi lebih lanjut dari Menko Kesra terkait tudingan itu. "Saya tunggu sejauh mana kebenaran itu. Siap dikonfrontir, karena itu merusak nama kami. Itu debat gombal namanya," pungkas Maftuh, geram.
Menko Kesra Agung Laksono menengarai ada oknum yang ingin mengambil keuntungan dalam kasus pembayaran diat untuk Satinah. "Informasi sudah ada, tetapi siapa orangnya belum," ujar Agung di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa 1 April lalu.
Agung menjelaskan, sejak awal Pemerintah RI berkomitmen membantu Satinah dengan membayar uang diat sebesar Rp 12 miliar. Namun, Pemerintah RI kaget ketika tuntutan diat bertambah menjadi Rp 26 miliar.
"Itu bagaimana? Nanti lama-lama bisa melonjak sampai Rp 100 miliar. Memang di tengah-tengah itu ditengarai ada yang memanfaatkan," tegas Agung.
Selain itu, Maftuh juga membantah pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar terkait kegagalan negosiasi akibat tim tak bisa berbahasa Arab.
"Bukan itu. Kalau itu saya tidak bisa bahasa Arab, yang dampingi saya Dubes Arab, yang mimpinnya aja pakai bahasa Arab. Mimpinnya. Jadi itu salah," tegas Maftuh di Kemenko Polhukam hari ini.
Maftuh malah balik menuding Menakertrans. Selama ini, Menakertrans justru tak pernah memberi arahan kepada tim negosiasi tentang apa yang harus mereka lakukan. Padahal, timnya telah berupaya optimal meringankan uang diyat sebesar SAR 7 juta atau Rp 21 miliar itu.
"Yang tepat adalah Menaker tidak pernah berikan kontribusi dan petunjuk apa yang harus kami lakukan," ketus Mantan Menteri Agama Kabinet Indonesia Bersatu I itu.
Kini Pemerintah RI dan keluarga korban sepakat membayar diyat SAR 7 juta atau sekitar Rp 21 miliar. Hukuman mati kepada Satinah pun dibatalkan Pemerintah Arab Saudi.
Kendati, bekas keluarga majikan Satinah itu meminta waktu 2 bulan, guna merundingkan pembagian uang diyat kepada 7 anggota keluarganya. (Raden Trimutia Hatta)