Sukses

Fakta Ilmiah di Balik Fenomena `Manusia Serigala`

Sejumlah orang yakin, mereka sedang bermetamorfosis menjadi manusia serigala. Setidaknya sudah ada 13 kasus yang dilaporkan sejak 1850.

Liputan6.com, Groningen - Legenda Eropa menyebut tentang keberadaan manusia serigala, likantrof atau likan. Konon, saat bulan purnama, sosok mereka yang seperti orang biasa akan berubah menjadi makhluk buas.

Dan ternyata, manusia serigala tak hanya sekedar mitos.

Paling tidak, ada sejumlah orang yang yakin, mereka dalam proses bermetamorfosis menjadi serigala. Mendengus, mencakar, dan merasa tubuh mereka ditutupi dengan rambut. Kuku seakan tumbuh memanjang. Setidaknya sudah ada 13 kasus yang dilaporkan sejak 1850.

Penasaran dengan fenomena tersebut, Dr Jan Dirk Blom, asisten profesor psikiatri di University of Groningen, Belanda menelaah data-data dan arsip, untuk menguak seberapa sering kondisi seperti itu terjadi.

Blom menemukan, sejak tahun 1850, telah terjadi 56 kasus deskripsi tentang orang-orang yang percaya bahwa mereka bermetamorfosis menjadi binatang.

Sebanyak 13 orang di antaranya mereka memiliki kriteria clinical lycanthropy -- istilah medis kondisi di mana seseorang memiliki delusi bisa berubah menjadi serigala. Kata sifat 'clinical' atau klinis digunakan untuk menekankan bahwa kondisi tersebut bukan lycanthropy -- atau kemampuan untuk bermetamorfosis secara fisik menjadi serigala -- yang sesungguhnya.

Kasus-kasus lain adalah varian dari kondisi tersebut, di mana para pasien memiliki keyakinan delusinal tentang menjadi anjing, ular boa, katak, atau lebah. Demikian menurut studi yang dipublikasikan dalam jurnal History of Psychiatry.

"Aku berharap menemukan lebih banyak kasus  karena dalam buku teks kondisi ini cukup sering disebutkan secara sepintas," kata Blom, seperti dimuat situs sains LiveScience.

Fakta rendahnya jumlah kasus clinical lycanthropy yang dilaporkan terjadi lebih dari 150 tahun menunjukkan, kondisi tersebut mungkin lebih jarang dari yang diperkirakan sebelumnya.

Berkaca Sebagai Serigala



Ide manusia bisa berubah bentuk menjadi makhluk lain sudah ada sejak zaman kuno dan terus menarik perhatian hingga hari ini. Namun, perhatian kurang diberikan pada kondisi clinical lycanthropy itu.

"Dalam praktik klinis, banyak kasus tak mendapat perhatian karena ahli kesehatan jisa kurang menyadari eksistensi dan keunikan gangguan ini," kata Blom.

Kondisi clinical lycanthropy secara umum sering dikira sebagai ekspresi dari gangguan lain seperti skizofrenia, gangguan bipolar, atau depresi berat.

Dalam tinjauannya terhadap 56 kasus delusi metamorfosis sebagai binatang, Blom menemukan bahwa 25 persen pasien malah didiagnosa menderita skizofrenia, 23 persen diduga depresi psikotik dan sekitar 20 persen dengan gangguan bipolar.

Dari 56 pasien, 34 di antaranya adalah pria, dan sisanya 22 orang adalah perempuan. Gejala yang mereka alami berlangsung di mana saja, waktunya dari satu jam sampai beberapa dekade lamanya.

Kasus clinical lycanthropy kali pertama dipublikasikan pada 1852. Menggambarkan seorang pria yang dikirim ke rumah sakit jiwa di Nancy, Prancis karena yakin, ia telah berubah menjadi serigala.

"Pria tersebut membuka bibirnya, dengan jemarinya, menunjukkan 'gigi serigalanya'. Ia juga mengeluh kakinya berubah dan tubuhnya ditumbuhi rambut panjang. Pria itu juga mengaku hanya ingin menyantap daging mentah. Tapi saat diberi daging mentah, ia menolak, alasannya, masih terlalu segar belum busuk," kata Blom.

Sejumlah pasien lain dilaporkan mengalami delusi tentang perubahan tampilannya. Ada yang merasa melihat wajahnya berubah menjadi kepala serigala saat bercermin. Lainnya yakin, tulang dalam tubuhnya telah digantikan oleh tulang babi, ada juga yang merasa cakar tumbuh di kakinya.

Kerja Otak

Meski melintasi milenium -- ribuan tahun -- penjelasan tentang lycanthropy seringkali bersifat metafisika. Takhayul. Hingga akhirnya, ilmu modern menawarkan gagasan bahwa perasaan berubah menjadi binatang disebabkan kelainan pada otak.

Selama beberapa dekade terakhir, sejumlah studi pencitraan otak menunjuk pada area tertentu di pusat sistem saraf manusia yang menciptakan sensasi fisik dan bagaimana seseorang memahami tubuhnya.

Wilayah otak ini meliputi area korteks otak (lapisan luar) yang bertanggung jawab untuk gerakan dan sensasi. "Seperti yang kita ketahui, sirkuit saraf di otak -- yang melibatkan premotor dan daerah kortikal sensorik, juga mungkin berbagai daerah subkortikal- - sangat penting untuk menciptakan persepsi soal tubuh kita," kata Blom.

Dalam kasus yang ditelaah Blom, pasien mengalami sensasi perubahan dalam penampilan mereka. Misalnya, merasa bahwa mulut dan gigi berubah bentuk atau dada mereka seakan menggembung. Beberapa mengira mengalami penurunan berat tubuh, juga ada yang merasa ada sensasi terbakar pada perut dan pangkal paha.

Ada kemungkinan, delusi yang dialami sejumlah pasien berasal dari masalah di daerah otak terkait, yang mengubah rasa seseorang terhadap identitas fisiknya. Kondisi ini, oleh ahli saraf Perancis pada tahun 1905, disebut coenaesthesiopathy -- misinterpretasi terhadap sensasi fisik.

Saat ini para ahli jiwa bisa menggunakan useelectroencephalogram (EEG) atau teknik pencitraan otak lainnya untuk mengetahui abnormalitas pada area otak yang bertanggungjawab pada pencitraan diri dan fisik seseorang.

Namun, karena linical lycanthropy cenderung terjadi berbarengan dengan gangguan jiwa lain  seperti skizofrenia, depresi psikotik, atau gangguan bipolar, "Praktik terbaik untuk mengatasinya adalah mengobati gangguan yang mendasari hal itu," kata Blom. (Anri Syaiful)