Sukses

Dampak Tabrakan Asteroid Lebih Dahsyat dari Bom Nuklir

Sejak permulaan Abad ke-21, puluhan asteroid menabrak Bumi. Beberapa di antaranya bahkan jauh lebih kuat dari ledakan bom atom.

Liputan6.com, Seattle Sejak permulaan Abad ke-21, puluhan asteroid menabrak Bumi. Beberapa di antaranya bahkan jauh lebih kuat dari ledakan bom atom yang bisa meluluhlantakkan sebuah kota. Itu menjadi bukti betapa rentannya planet ini, tak hanya oleh kerusakan yang diakibatkan usianya yang makin menua ditambah kerakusan manusia, tapi juga 'serangan' dari luar.

Di peringatan Hari Bumi tahun ini, B612 Foundation -- organisasi pemburu asteroid nirlaba yang didirikan para mantan astronot NASA, meluncurkan video visualisasi peristiwa hantaman batu-batu angkasa ke planet manusia.

Seperti Liputan6.com kutip dari situs sains SPACE.com, video tersebut disusun berdasarkan data terbaru dari jaringan sensor yang tersebar di seluruh dunia, dari Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty Organization (CTBTO) yang didesain untuk mendeteksi ledakan nuklir.



Antara tahun 2000 hingga 2013, instrumen-instrumen pelacak ledakan mendeteksi 26 ledakan di planet ini, dengan energi berkisar dari 1 hingga 600 kiloton. Bukan karena bom, kesemuanya disebabkan oleh tubrukan asteroid. Sebagai perbandingan, bom atom yang menghancurkan Kota Hiroshima, Jepang pada 1945, di penghujung Perang Dunia II  berkekuatan 'hanya' 15 kiloton.

Untungnya, kebanyakan dari batu angkasa itu luput dari perhatian karena hancur duluan saat menembus perisai dunia: atmosfer. Tak sampai memicu malapetaka di Bumi. Lagipula, tabrakan lebih sering terjadi di atas wilayah lautan terpencil.

Namun, seperti yang terlihat dalam animasi, sejumlah insiden tubrukan batu angkasa terjadi di kawasan padat penduduk. Salah satunya yang terjadi di langit Chelyabinsk, Rusia. Pada Februari 2013, 600 kiloton meteorit meledak, merusak ratusan bangunan dan melukai lebih dari 1.000 orang. 



Dengan meluncurkan video tersebut, B612 Foundation ingin meningkatkan kesadaran tentang mengapa Bumi membutuhkan sistem pelacakan asteroid.

"Sebagian asteroid raksasa yang berpotensi menghancurkan sebuah negara bahkan satu benua memang telah terdeteksi, namun baru kurang dari 10 ribu -- dari jutaaan -- asteroid berbahaya yang berpotensi menghancurkan kota-kota metropolitan yang ditemukan oleh semua observatorium milik manusia saat ini," kata mantan astronot NASA, Ed Lu yang memulai B612 Foundation pada 2002 bersama rekan sesama astronotnya.

"Karena kita tak tahu di mana atau kapan tabrakan besar lain akan terjadi, satu-satunya cara untuk mencegah malapetaka dari asteroid penghancur kota hanyalah 'keberuntungan'," tambah Ed.

 

Tak Bisa Andalkan Keberuntungan

Manusia memang beruntung. Salah satunya dalam insiden Tunguska pada 1908, di mana batu angkasa sekitar 45 meter lebarnya, pecah dan menghantam Bumi di wilayah yang terpencil.

B612 Foundation sedang mengkampanyekan teleskop Sentinel sebagai cara untuk meningkatkan mitigasi risiko. Proyek tersebut akan diluncurkan pada 2018 dengan dana mencapai US$ 250 juta.

Observatorium angkasa luar itu akan ditempatkan di orbit Venus. Dari sana ia akan memantau ke arah Bumi. Sentinel juga akan beroperasi dengan inframerah - bagian terbaik dari spektrum untuk mencari asteroid yang warnanya abu-abu gelap.

Survei sebelumnya menunjukkan, manusia telah menemukan lebih dari 90% batu angkasa 'monster' yang bisa memicu kepunahan jika mereka sampai menghantam Bumi. Dan kabar baiknya, mereka tak akan mendekat dalam waktu dekat.

Namun data dari teleskop Wise NASA menunjukkan bahwa populasi objek dalam kisaran ukuran 100-1000 meter mungkin jumlahnya mendekati 20.000, dan sebagian besar di antaranya belum diidentifikasi dan dilacak. Belum lagi yang ukurannya lebih kecil dari itu.

Padahal, waktu sangatlah berharga. Semakin cepat sebuah batu angkasa yang mengancam Bumi  terdeteksi, semakin mudah untuk menghadapinya. Sebaliknya, jika ia lolos tanpa sepengetahuan kita, itu bisa jadi bencana. (Tanti Yulianingsih)