Sukses

Twitter dan Kebringasan Polisi—Kisah Suram Hashtag NYPD

Keterbukaan informasi telah memberdayakan anggota masyarakat yang dulunya merasa tidak berdaya menghadapi pihak-pihak yang berwenang.

Liputan6.com, New York Di jaman keterbukaan informasi sekarang ini, kita sudah menyaksikan sendiri bagaimana alat-alat sosial media menjadi sarana ampuh untuk berbagai kepentingan. Thomas Friedman menjelaskan dalam bukunya, “The World is Flat”, bagaimana keterbukaan informasi telah memberdayakan anggota masyarakat yang dulunya merasa tidak berdaya menghadapi pihak-pihak yang dianggap memiliki kekuasaan. Berikut ini kami kutipkan dari vice.com mengenai suatu kampanye penggunaan hashtag Twitter (#myNYPD) yang sejatinya dimaksudkan untuk mendekatkan New York Police Department (NYPD) dengan anggota masyarakat, namun penggunaan hashtag yang dimaksud malah menjadi alat perlawanan anggota masyarakat terhadap kebringasan petugas.

Kita mengerti bahwa hal serupa sangat bisa terjadi di Indonesia, sehingga ini menjadi peringatan bagi para pemilik wewenang dan kekuasaan bahwa keterbukaan informasi telah merombak tatanan yang sudah usang selama ini. Bukan cerita baru bahwa media sosial telah menunjukkan taringnya di Indonesia. Berikut ini adalah kutipan dari Harry Cheadle sebagaimana diterbitkan di vice.com:

Tak dapat dipungkiri Twitter merupakan situs web keren dimana kamu bisa menuliskan apapun dan mengirimkannya ke alam maya untuk dibaca di seluruh jagad internet. Ada orang yang menggunakannya untuk bersenda gurau, ada yang menggunakannya untuk berteriak,”HEY, KETIDAKADILAN MERAJALELA, WADUH #GETINVOLVED,” dan ada juga tentunya yang menggunakannya untuk bermain peran sebagai karakter-karakter komik dari Sonic the Hedgehog. Sungguh mengasyikkan, apalagi jika kamu memang senang mengobrol dengan orang-orang tak dikenal.

Lembaga-lembaga besar seperti perusahaan-perusahaan dan badan-badan pemerintah juga menggunakan Twitter, tapi biasanya dilakukan secara sembarangan. “Hey, kami adalah perusahaan pizza, kirimlah gambar-gambar kamu selagi makan pizza dan pasang hashtag #pizzapics” adalah suatu contoh tweet amburadul dari salah satu akun demikian. Biasanya lembaga-lembaga itu berusaha menggiatkan sesuatu yang secara saru mereka sebut dengan “menjangkau masyarakat”—pada dasarnya mereka ingin orang-orang mengirimkan tweet hal-hal yang baik-baik saja tentang mereka sehingga orang-orang lain melihat tweet itu, dan, saya duga, berpikir yang baik-baik saja tentang lembaga yang memulai kampanye penjangkauan itu.

Sayangnya, manusia yang menjalankan akun Twitter mereka mungkin gagal menyadari bahwa kebanyakan pengalaman dengan polisi sebetulnya termaktub dalam beberapa penggolongan berikut:

  1. Kamu bicara dengan mereka untuk mendapatkan pertolongan setelah kamu atau seseorang yang kamu kenal telah dirampok, dipukuli, dibunuh, atau diserang secara seksual.
  2. Kamu ditahan.
  3. Kamu dianiaya oleh polisi.

Dalam penggolongan 1, mungkin kamu akan berpikir,”Oh, ayo berfoto selfie dengan para petugas ganteng itu supaya saya bisa mengenang hal ini,” dan dua penggolongan yang lain bukanlah hal yang NYPD inginkan agar orang-orang di media sosial pikirkan tentang NYPD. Lagipula, orang-orang yang sering menggunakan Twitter (tapi bukan termasuk pemain peran Sonic the Hedgehog) adalah jenis orang yang senang “bergaul” dengan sosok yang berwenang. Apapun alasannya, #myNYPD segera menjadi trending topic di Amerika Serikat, terutama karena orang-orang mengirim tweet dan retweet gambar-gambar menyeramkan tentang kebringasan polisi yang dilakukan oleh para polisi kota New York.

Baiklah, Twitter adalah suatu yang hebat, bukan? Namun bukan hanya untuk NYPD. Nah, berhati-hatilah dengan tweet kamu.