Liputan6.com, Silicon Valley Derita yang dialami para pengemudi kendaraan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sedihnya, penderitaan itu semakin diperparah dengan terbitnya kebijakan-kebijakan sembrono yang menyangkal akal sehat. Seperti telah diulang berkali-kali, angka pertumbuhan jumlah kendaraan di jalan-jalan di Indonesia sudah terlalu besar dibandingkan dengan angka pertumbuhan infrastruktur pengangkutan.
Karena peningkatan infrastruktur pengangkutan hanya bisa dilaksanakan dalam jangka waktu yang jauh lebih lama daripada produksi kendaraan bermotor, secara awam dapat diharapkan agar laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia dapat dikurangi secara besar-besaran—bahkan mungkin sudah waktunya menerapkan program pengurangan (negative growth) jumlah kendaraan pribadi di jalan-jalan di Indonesia.
Penderitaan berkendara juga diperparah dengan sikap dan perilaku para pengemudi yang sesungguhnya belum siap bergaul dengan teknologi. Kebanyakan pengemudi mengemudikan kendaraan mereka (“teknologi” pengangkutan) namun masih menyangka dirinya sedang berjalan kaki. Apalagi ditambah dengan kebiasaan para pengemudi untuk menumpahkan segala persoalan hidup mereka di jalan raya.
Advertisement
Bagi sebagian orang, memenangkan perebutan jalur di suatu ruas jalan yang menyempit seakan memberi kenikmatan tersendiri, seakan-akan mereka tidak selalu “kalah” dalam hidup. Jelaslah bahwa manusia pengemudi kendaraan itu menjadi salah satu sebab semakin amburadulnya pengalaman mengemudi di jalan-jalan di Indonesia.
Banyak pihak yang menyadari bahwa manusia menjadi salah satu penyebab utama yang merusak keamanan dan keselamatan berkendara. Suatu raksasa teknologi bahkan berusaha memperkecil peran manusia dalam pengambilan keputusan di saat mengemudi, misalnya dengan penerapan perangkat lunak (software) yang dapat mempelajari perilaku dan keadaan di jalan raya.
Namun demikian, kita di Indonesia masih harus melihat apakah perangkat lunak yang pintar itu akan mampu menelaah dan mengerti cara pikir dan perilaku para pengemudi di Indonesia agar mereka bisa menciptakan kendaraan “pintar” yang mengerti Indonesia. Misalnya, pernahkah terpikir oleh perangkat lunak itu bagaimana pengemudi kendaraan umum roda tiga menentukan berbelok ke kiri atau ke kanan? Apakah dengan melihat gerak kepala pengemudinya? Apakah perangkat lunak itu dapat memahami bagaimana pengendara sepeda motor dapat dengan semena-mena melawan arus, keluar masuk di celah-celah antara mobil di suatu kemacetan atau melanggar lampu merah padahal belum gilirannya? Semoga. Mari kita doakan bersama.
Berikut ini kita simak perkembangan mobil yang dapat mengemudi sendiri seperti yang dilansir dari foxnews.com edisi Senin, 28 April 2014:
Google mengatakan bahwa mobil yang mereka program untuk mengemudi sendiri telah mulai menguasai navigasi di jalan-jalan kota beserta dengan berbagai tantangan yang lazim dialami, mulai dari pejalan kaki pelanggar sampai pengendara sepeda yang berkelok kiri dan kanan—suatu capaian penting teknologi komersial untuk mobil yang bisa mengemudi sendiri.
Walaupun sudah banyak kemajuan yang dicapai selama setahun terakhir, mobil-mobil ini masih harus banyak belajar sebelum tahun 2017, yakni ketika raksasa teknologi Silicon Valley ini berharap untuk membawa teknologi “mengemudi sendiri” ini kepada khalayak.
Tidak ada pembuat mobil tradisional yang terlalu terburu-buru. Mereka malah menggelar kemampuan ini secara bertahap, termasuk misalnya teknologi yang mengerem dan mempercepat sendiri selagi berada dalam lalu lintas yang padat merayap, atau menjaga mobil-mobil di jalur masing-masing.
“Saya kira teknologi Google ini hebat, ya. Namun saya tidak melihat adanya jalur cepat menuju pasar,”ujar David Alexander, seorang analis senior di Navigant Research yang berkutat khususnya di kendaraan-kendaraan mandiri sedemikian itu.
Perkiraannya adalah bahwa mobil yang mengemudi sendiri tidak akan tersedia secara komersil hingga tahun 2025.
Mobil-mobil mengemudi sendiri garapan Google telah mampu melakukan navigasi secara nyaman di jalan bebas hambatan, walaupun ada seorang pengemudi di dalamnya yang bersiaga mengambil kendali. Dalam suatu post blog yang baru, pimpinan proyek mengatakan bahwa mobil-mobil ujicoba sudah dapat menangani ribuan keadaan perkotaan yang setahun lalu belum mampu mereka hadapi.
“Kami menjadi lebih optimistik bahwa kami mengarah menuju suatu tujuan yang bisa dijangkau—suatu kendaraan yang mampu beroperasi sendiri tanpa campurtangan manusia,”demikian ditulis oleh direktur proyek Chris Urmson. Keuntungan yang didapat misalnya lebih sedikitnya kecelakaan, karena pada dasarnya suatu mesin malah dapat mengemudi lebih aman daripada manusia.
Laporan Urmson merupakan kabar terbaru resmi terbaru sejak tahun 2012 atas suatu proyek yang merupakan bagian dari laboratorium Google X yang dirahasiakan itu.
Dalam langkah awalnya, sang manusia pengemudi diharapkan untuk mengambil alih kendali jika komputernya mengalami kegagalan. Janjinya adalah, nantinya tidak perlu lagi ada pengemudi. Para penumpang dapat membaca-baca, melamun, atau bahkan tidur—atau bekerja—selagi mobilnya mengemudi sendiri.
Hal itu masih bertahun-tahun jauhnya, demikian amaran Alexander dari Navigant.
Ia mengamati bahwa SUV Lexus RX450H yang direkayasa oleh Google memiliki menara kecil di atapnya yang menggunakan laser untuk memetakan kawasan sekitarnya. Para pembuat mobil ingin menyembunyikan teknologi itu ke dalam bentuk mobilnya, katanya. Dan bahkan biarpun mobil lebih baik daripada manusia dalam hal mengemudi, masih perlu beberapa tahun lagi untuk membawa teknologinya dari tahap pengembangan ke tahap produksi skala besar.
Google belum mengungkapkan bagaimana rencana untuk memasarkan teknologi itu. Pilihan yang ada misalnya bekerjasama dengan para pembuat mobil utama atau membagi-bagikan perangkat lunaknya, sebagaimana yang mereka lakukan dengan sistem operasi Android.
Walaupun Google memiliki cadangan dana yang memadai untuk memulai membuat mobil, belum tentu hal ini dilakukannya. Jelas-jelas bukan di tahun kerangka waktu tahun 2017 yang telah dipaparkan oleh salah satu pendirinya, Sergey Brin.
Urmson mengatakan dalam suatu wawancara bahwa tahun 2017 merupakan “suatu kerangka waktu yang baik” bagi orang-orang yang tinggal di dekat markas besar Google di Kawasan Teluk San Francisco untuk mengharapkan akses kepada teknologi itu, namun masih harus diketahui bentuk akses yang dimaksud.
Walaupun Brin merupakan atasannya dan dia bermaksud menyenangkan sang atasan, Urmson menyatakan bahwa keselamatan akan lebih didahulukan.
Ia menambahkan bahwa ia memiliki suatu pencapaian lain dalam benaknya: puteranya yang berumur 10 tahun akan mencoba menyetir lima tahun mendatang, dan karena ia mengetahui bagaimana cara remaja menyetir mobil, ia secara pribadi ingin agar teknologinya tersedia sebelum tahun 2019.
Untuk sekarang, Google memusatkan kepada tantangan-tantangan lazim yang bisa diduga selagi mengemudi di suatu kota.
Untuk menghdapai para pengendara sepeda, para insinyur telah mengajarkan perangkat lunak mereka untuk memperkirakan perilaku yang bisa terjadi berdasarkan ribuan kali pengalaman di dunia nyata, demikian disampaikan oleh jurubicara Google, Courtney Hohne. Perangkat lunak ini menjejas lintasan mobil seturut dengannya—dan memberi reaksi seandainya terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
Sebelum terobosan terkininya, Google pernah berencana untuk memetakan semua rambu stop di seluruh dunia. Sekarang teknologinya dapat membaca rambu-rambu stop, termasuk rambu yang digenggam di tangan para penjaga penyeberangan di sekolah, lanjut Hohne.
Walaupun mobilnya mengetahui harus berhenti, kapan saatnya memulai lagi masih menjadi tantangan, antara lain karena mobilnya diprogram untuk mengemudi secara aman. Di suatu perempatan dengan perhentian, mobil-mobil Google akan menunggu di tempatnya selagi mobil-mobil lain memasuki perempatan itu.
Mobil-mobil ini masih memerlukan bantuan manusia untuk beberapa masalah lain. Di antaranya, kemampuan mengerti gerak tubuh yang saling disampaikan oleh para pengemudi untuk mengijinkan yang pengemudi lainnya merapat atau berpindah jalur, belok langsung di saat lampu merah, dan mengemudi selagi hujan atau berkabut (yang membutuhkan pemindai-pemindai yang lebih canggih).
Hingga saat penulisan ini, mobil-mobil Google telah menjalani lebih dari 1,1 juta kilometer selagi mengemudi sendiri, seperti dijelaskan oleh perusahaan. Hohne mengatakan bahwa lebih dari 16.000 kilometer di antaranya dilakukan di jalan-jalan kota; Urmson mengatakan bahwa tidak mudah menghitung keseluruhan jaraknya dengan pasti.
(Gambar dari SD Times di www.sdt.bz)