Liputan6.com, Diyarbakir Lembar hitam genosida terhadap manusia oleh manusia lain masih kita dengar di berbagai bagian dunia. Masih ada dalam ingatan kita mengenai krisis Rwanda di Afrika. Bangsa Indonesia sendiri tidak terbebas dari kejahatan kemanusiaan ini. Meskipun masih banyak perselisihan mengenai peristiwa September 1965, dugaan kejahatan genosida mulai mencuat ke permukaan sejak beberapa tahun terakhir ini.
Turki juga mengalami perselisihan tentang genosida yang menodai lembar sejarah bangsanya. Di tahun 1915, Turki melakukan kejahatan genosida terhadap orang-orang Assiria, Yunani, dan Armenia yang berada di bawah kekuasaan Turki Ottoman.
Baca Juga
Pengajuan Banding Penangguhan Penangkapan Netanyahu atas Kejahatan Perang Tak Berdasar
Pemimpin Tertinggi Iran: Surat Perintah Penangkapan Tak Cukup, PM Israel Benjamin Netanyahu harus Dieksekusi Mati
12 Ribu Rudal Dijatuhkan ke Ukraina dalam 1.000 hari Perang dengan Rusia, Dubes Vasyl: Tidak Manusiawi!
Sayangnya, jarang sekali terdengar pengakuan bangsa-bangsa atas kejahatan genosida di masa lalu kehidupan kebangsaan mereka. Sesungguhnya, pengakuan akan kejahatan pada masa lampau menjadi bagian untuk menutup luka yang menganga terlalu lama, berdamai dengan masa lampau dan mulai melangkah maju bersama tanpa beban.
Advertisement
Berikut ini berita yang dikutip dari Kantor Berita Internasional Assiria (Assyrian International News Agency—AINA) pada 23 April 2014, ditambah dengan analisa dari berbagai sumber:
Pada 24 April 1915, pembantaian Turki atas bangsa Assiria, Yunani dan Armenia dimulai begitu saja tanpa hingar bingar. Hanya dalam tiga tahun, 750.000 (75%) orang Assiria, 1,5 juta orang Armenia dan 500.000 orang Yunani tewas dibantai.
Telah banyak kemajuan untuk mengakui pembantaian yang telah terjadi di seluruh dunia sejak tahun 1915. Banyak juga negara yang secara resmi mengakui pembantaian bangsa Armenia. Australia dan Swedia telah secara resmi mengakui pembantaian bangsa Assiria --dikenal dengan Seyfo yang berarti "pedang" dalam bahasa Assiria.
Himpunan Sarjana International tentang Pembantaian (International Genocide Scholars Association) juga telah mengakui pembantaian bangsa Assiria dan Yunani (AINA pada 15 Desember 2007).
Namun pengakuan pembantaian oleh negara yang paling berkepentingan malah belum ada. Turki bukan hanya menyangkal pembantaian itu, namun secara gigih berusaha menghalangi pengakuan-pengakuan di seluruh dunia. Bahkan pada bulan Februari 2013, menteri Turki untuk Uni Eropa, Egemen Bagis, memperbandingkan pembantaian Assiria dengan tindakan merancap (AINA pada 26 Februari 2013).
Dokumen Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris yang termashyur, berisi lebih dari 600 halaman dan berjudul, "Makalah dan Dokumen Arnold Toynbee tentang Pelakuan atas Kaum Armenia dan Assiria oleh Turki, 1915-1916, di wilayah Ottoman dan Persia Barat Laut."
Arsip nasional negara-negara Inggris, Prancis, dan Amerika berisi sekumpulan besar dokumen terkait dengan pembantaian itu. Misalnya, arsip diplomatik Prancis berisi 45 volume perihal Assiria dari tahun 1915 hingga 1940.
Ketika Prancis memasukkan genosida ini dalam ranah pidana di tahun 2006, Turki bersikeras menentangnya. Kala itu, Presiden Prancis Chirac dan Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy menyatakan Turki harus mengubah posisinya dan mengakui kematian orang-orang Armenia sebagai genosida sebelum bergabung kedalam Uni Eropa (sumber BBC, 12 Oktober 2006).
Kebijakan resmi Turki yang dipertahankan mati-matian, adalah menyangkalinya. Bagi Turki, pembantaian ini tidak pernah terjadi, yang terjadi adalah "pergolakan sipil". Turki bahkan menambahkan tuduhan bahwa orang-orang Armenia memulai pemberontakan dan karenanya hal ini berarti perang dan dengan demikian para korban hanyalah sekadar korban perang.
Sesungguhnya bangsa Kurdi, yang menjadi pelaksana pembunuhan sesungguhnya di lapangan, telah mengakui hal ini. Pada 23 April 1995, Parlemen Kurdi di pengasingan mengeluarkan pernyataan yang berbunyi "Biarlah sejarah mencatat kami Parlemen Kurdi di pengasingan berbagi penderitaan dengan para penyintas dan hubungan dengan mereka. Kami bertekad bulat menolak tindakan dan mengutuk para pelaku kebiadaban ini, kaum Ottoman dan laskar-laskar Kurdi yang bersekongkol dengannya. Kami menyerukan agar Anda juga melakukan hal yang sama." (AINA pada 23 April 1995).
Sayangnya Turki masih menolah untuk berdamai dengan masa lalunya. Bahkan, ketika Ekmeleddin Ihsanoglu dari Turki sedang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal untuk Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk masa jabatan dari 31 Desember 2004 hingga 31 Januari 2014, Turki berusaha mempengaruhi OKI untuk menciptakan perangkat hukum dan berencana mengupayakan dukungan internasional untuk menghadapi tuduhan ini.
Pada bulan November 2000, seorang Pastor Assiria dari Gereja Orthodox Siria Santa Maria di Diyarbakir, Turki, ditangkap karena menegaskan pembantaian Assiria tahun 1915 itu. Perlawanan Pastor Yusuf mengejutkan bagi mereka yang mengenalnya sebagai orang yang lembut hati dan orang beriman yang ramah. Pastor Yusuf malah dianggap sebagai pengkhianat bangsa.