Liputan6.com, Araras (Brasil) Mungkin kita masih ingat tentang “manusia akar” yang sesungguhnya merupakan sebutan untuk penderita gangguan kulit langka Epidermodysplasia verruciformis atau Lewandowsky-Lutz dysplasia yang disebabkan oleh infeksi virus HPV tipe 5 dan 8. Ada beberapa kasus penyakit ini di Indonesia, antara lain Dede di Jawa Barat, Isal di Painan (Sumatera Barat).
Di desa Araras, Brasil juga terdapat penyakit yang juga menampilkan kutil dan benjolan-benjolan pada kulit, namun ternyata disebabkan oleh faktor keturunan (genetika), sebagaimana dilansir dari AOL pada 6 Mei 2014 berikut ini:
Baca Juga
Tersembunyi di antara pegunungan yang bermandikan terik matahari di bagian barat Brasil, Araras merupakan rumah bagi suatu kelompok terbesar orang yang menderita penyakit kulit turunan yang dikenal dengan sebutan xeroderma pigmentosum, atau "XP."
Advertisement
Penderita penyakit itu sangat peka terhadap sinar ultraviolet dari matahari dan rentan terhadap kanker kulit. Penyakit itu merenggut kemampuan korbannya untuk memulihkan diri dari kerusakan yang diakibatkan oleh sinar matahari.
Hal ini sangat memberatkan bagi Araras, yang merupakan masyarakat pertanian tropis di mana pekerjaan di ruang terbuka penting untuk kelangsungan hidup.
“Saya selalu tepapar matahari -- bekerja, menanam, dan menuai beras dan menggembalakan sapi,” ucap Djalma Antonio Jardim (38 tahun). “Seiring berlalunya waktu, keadaan saya semakin memburuk.”
Bertani sudah bukan lagi untuk Jardim. Ia bertahan hidup dengan sejumlah kecil tunjangan pensiun dari pemerintah dan hasil pas-pasan dari warung es krim yang dijalankannya.
Bukan tiba-tiba
XP menjukkan gejala-gejala awal sewaktu menyerang para korbannya.
Jardim bercerita bahwa ia masih berusia 9 tahun ketika suatu saat banyak sekali kutil dan benjolan-benjolan kecil mulai bermunculan di wajahnya, yakni suatu pertanda yang oleh para ahli dikatakan sebagai tanda bahwa XP telah menulari anak-anak sehingga perlu ada cara-cara untuk melindungi anak-anak itu.
Sayangnya perlindungan itu tidak diberikan kepada Jardim, sehingga ia sekarang harus memakai topi jerami lebar untuk melindungi mukanya. Tapi itu tidak banyak membantu. Ia telah menjalani lebih dari 50 kali operasi untuk membuang tumor-tumor kulit.
Dalam upayanya menyamarkan penyakit yang telah merusak kulit di bibir, hidung, pipi, dan matanya, Jardim menggunakan topeng asal jadi berwarna oranye. Alis kanan yang dilukiskan di topeng itu menyamarkan sisa alis tebalnya yang asli.
Bukan hanya kerusakan kulit dan kanker, tapi seperlima dari penderita XP juga menderita tuli, kejang otot, gangguan koordinasi gerak tubuh atau keterlambatan perkembangan, demikian dikatakan oleh Lembaga Kanker Nasional (National Cancer Institute) di Amerika Serikat.
Lebih dari 20 orang dalam masyarakat yang beranggotakan 800 orang ini menderita XP. Tingkat kejadiannya 1 di antara 40 orang—jauh lebih tinggi daripada perbandingan 1 di antara 1 juta orang di Amerika Serikat yang menderita penyakit itu.
Menebak bertahun-tahun
Bertahun-tahun lamanya, tak ada orang yang menjelaskan kepada Jardim ataupun yang lainnya tentang apa yang menyerang mereka.
“Para dokter yang saya kunjungi mengatakan saya memiliki gangguan darah. Yang lainnya mengatakan saya terjangkit penyakit kulit. Tapi tidak satupun ada yang mengatakan bahwa saya menderita penyakit turunan,” ucap Jardim. “Baru pada tahun 2010 penyakit ini didiagnosa dengan tepat.”
Para pakar mengakan bahwa tingginya angka kejangkitan di Araras ialah karena pada awalnya desa itu didirikan oleh segelintir keluarga saja dan ada beberapa di antaranya yang menjadi pembawa penyakit itu, sehingga penyakitnya diturunkan kepada generasi-generasi dibawahnya ketika penduduk desa itu saling menikahi satu sama lain.
Sebagai contoh, kedua orangtua Jardim merupakan pembawa gen yang rusak yang menjadi penyebab penyakit itu, sehingga pastilah ia terkena.
Upaya pencegahan
Gleice Francisca Machado, seorang guru desa yang anaknya, Alison (11 tahun), memiliki XP, telah mempelajari sejarah wilayah ini dan mengatakan bahwa ia mendapati adanya orang-orang yang memiliki penyakit ini bahkan selama 100 tahun terakhir.
Ia memulai suatu perkumpulan yang mendidik penduduk setempat tentang XP dan mencoba membujuk para orangtua untuk lebih memperhatikan anak-anak mereka, bahkan jika anak-anak itu tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit yang kelihatan dari luar.
“Matahari menjadi musuh terbesar dan mereka yang terkena harus membalik jadwal siang dan malam dalam kesehariannya supaya bisa hidup lebih lama,” kata Machado. “Sayangnya, hal itu tidaklah mungkin.” (Ein)