Sukses

5 Mitos Kapal Titanic yang Disebarkan Lewat Film

Titanic, kapal terbesar dan termewah di zamannya itu karam Minggu malam 14 April 1912. Apa yang disajikan dalam film tak semua sesuai fakta.

Liputan6.com, London - Titanic adalah kisah tragis yang semua orang tahu akhirnya: kapal terbesar dan termewah di zamannya itu karam Minggu malam 14 April 1912. Lebih dari 100 tahun lalu. Kecelakaan yang merenggut lebih dari 1.500 nyawa pria, wanita, dan anak-anak.

Jam-jam terakhir sampai Titanic tenggelam sepenuhnya di lautan beku Atlantik Utara menjadi objek beragam mitos. Menjadi inspirasi film, dokumenter, dan tak ketinggalan teori konspirasi.

Rilis ulang Film Titanic karya James Cameron (1997) dalam versi 3D, mengingatkan kembali bahwa pengetahuan banyak orang tentang peristiwa tenggelamnya kapal itu tidak berasal dari fakta historis melainkan dari layar perak.

Berikut 5 mitos Titanic yang disebarkan lewat film:

'Kapal yang Tak Bisa Tenggelam'

Dalam film Titanic besutan James Cameron, ibu dari tokoh utama mendongak ke arah kapal, dari dek, dan berkata, "Jadi, ini kapal yang katanya tak bisa tenggelam."

Kalimat itu mungkin adalah mitos terbesar terkait Titanic. Demikian ujar Richard Howells dari Kings College London.

"Tak benar bahwa semua orang saat itu berpikir demikian. Anggapan itu adalah mitos yang retrospektif, membuat cerita lebih dramatis. Jika seseorang dengan segala kebanggaannya membuat kapal seperti Prometheus mencuri api dari para dewa... akan menjadikan sebuah mitos masuk akal, bahwa Tuhan akan sangat marah pada kepongahan itu dan menenggelamkan kapal tersebut di pelayaran perdananya," kata dia seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Kamis (8/5/2014).

Berbeda dengan pemahaman umum, White Star Line tak pernah membuat klaim substantif bahwa Titanic tak bisa tenggelam.

Meskipun tenggelamnya kapal Titanic terjadi sekitar 15 tahun setelah kelahiran bioskop layar lebar dan bencana itu sering ditayangkan dalam tayangan berita bisu -- tanpa suara -- di masanya, hanya ada sedikit cuplikan dari kapal itu sendiri.

Sebab, Titanic bukan berita besar sebelum ia tenggelam. Kapal lain, Olympic lah yang mencuri perhatian dalam pelayaran perdananya dari Southampton ke New York pada 1911. Ia dinakhodai kapten yang sama dengan Titanic, menempuh rute yang sama, punya fasilitas keamanan yang sama, dan jumlah sekoci serupa. Bedanya, ia tak bernasib malang.

"Lambung Olympic dicat abu-abu terang yang terlihat fantastis dalam rekaman berita", kata John Graves dari National Maritime Museum, London.  Sejumlah rekaman Olympic digunakan dalam tayangan berita tenggelamnya Titanic.

Lagu Terakhir

Salah satu tayangan yang terpampang dalam banyak tayangan film Titanic adalah band kapal terus bermain saat kapal mulai tenggelam. Dikisahkan bagaimana para musisi tetap berada di dek, berusaha meningkatkan semangat para penumpang. Dan nada terakhir yang mereka mainkan adalah himne, "Nearer, My God, To Thee." Para musisi akan selalu dikenang sebagai pahlawan.

Halaman depan Daily Mirror pada tanggal 20 April, direproduksi menjadi kartu pos: "Bandsmen heroes of the sinking Titanic play 'Nearer, My God, To Thee' as the liner goes down to her doom."

Simon McCallum mengatakan, keterangan saksi mata memang mengatakan bahwa band terus memainkan musik di dek. Namun, lagu terakhir apa yang mereka mainkan masih jadi perdebatan.

"Para penumpang yang ingat lagu terakhir apa persisnya yang mereka mainkan, pastinya sangat beruntung bisa selamat sebelum kapal tenggelam. Kita tak pernah benar-benar tahu karena 7 musisi tersebut hilang. Mungkin karena alasan puitis mengapa 'Nearer, My God, To Thee' dipilih dalam film," kata McCallum.

Sementara, Paul Louden-Brown dari Titanic Historical Society yang menjadi konsultan film besutan James Cameron mengatakan, adegan musisi dalam Film A Night To Remember tahun 1958 begitu indahnya sehingga Cameron memutuskan untuk mengulanginya dalam filmnya itu.

"Dia berkata padaku, 'Aku mencuri sepenuhnya dan memasukkannya dalam filmku. Karena aku menyukainya. Itu menjadi bagian kuat dalam cerita."

Kapten Titanic, Pahlawan?

Hanya sedikit yang diketahui tentang detik-detik terakhir kematian nakhoda Titanic, Kapten Edward J. Smith, namun ia dikenang sebagai pahlawan, meski gagal mengelak dari gunung es dan tak melambatkan laju kapalnya ketika es dilaporkan berada di jalur pelayarannya.

"Dia tahu benar berapa jumlah penumpang dan berapa ruang dalam sekoci. Dan ia mengizinkan sekoci yang setengahnya kosong berlalu dari Titanic," kata Paul Louden-Brown dari Titanic Historical Society.

Di malam tenang namun bukan main dinginnya, sekoci pertama yang diberangkatkan dari sisi Titanic, dengan kapasitas 65 orang, hanya berisi 27 manusia. Kebanyakan sekoci pergi dalam kondisi setengah kosong dan tak berbalik lagi untuk menjemput korban.

"Sejarah mencatat kematiannya yang heroik. Patung didirikan untuk mengenangnya. Ada banyak kartu pos dan kisah yang menggambarkan kepahlawanannya -- berenang di air dengan anak-anak di lengannya, berkata 'semoga berhasil, jaga dirimu sendiri'...itu semua tak senyatanya terjadi," tambah Louden-Brown.

"Kapten Smith bertanggung jawab atas kegagalan struktur komando dalam kapal. Tak ada yang lain, selain dia."

Sang kapten juga tak mengeluarkan perintah untuk meninggalkan kapal. Itu berarti penumpang tak menyadari Titanic dalam kondisi berbahaya. Juga tak ada niatnya untuk memerintahkan evakuasi.

Pada malam itu, Smith 'menghilang'. John Graves berpendapat, sang kapten mungkin trauma saat menyadari tak ada sekoci dalam jumlah memadai untuk para penumpang.

Si Pengusaha Jahat

Dalam film dikisahkan tentang J Bruce Ismay, direktur perusahaan yang membuat Titanic. Ia digambarkan sebagai pengecut karena melarikan diri dari Titanic sementara sesama penumpang, terutama perempuan dan anak-anak, masih berjuang agar selamat. Padahal, konon, dia yang minta agar kapten mempercepat laju Titanic, agar tiba lebih awal di New York demi publikasi.

"Setiap pembuat film menyadari pengkhianatan terlalu 'sedap' untuk tidak disertakan dalam film mereka," kata Paul Louden-Brown.

"Jika ditelusuri dari mana tuduhan itu berasal, akan berujung pada William Randolph Hearst, tokoh besar surat kabar AS. Ia dan Ismay berselisih sejak bertahun-tahun sebelumnya karena Ismay tak kooperatif dengan media terkait peristiwa kecelakaan yang terjadi pada sebuah kapal White Star Line."

Ismay dikutuk secara luas di AS, di mana sindikat surat kabar Hearst melakukan kampanye tajam melawannya, melabelinya dengan "J Brute Ismay". Media mempublikasikan nama-nama mereka yang tewas, namun kolom untuk mereka yang selamat hanya ada satu nama: Ismay.

Beberapa saksi mata mengungkap, Ismay melompat ke sekoci pertama, lainnya mengaku ia memerintahkan kru kapal untuk membawanya pergi, sementara tukang cukur di Titanic mengatakan, Ismay diperintahkan masuk ke sekoci oleh petugas.

Sementara, Lord Mersey, yang memimpin laporan penyelidikan kecelakaan Titanic menyimpulkan, Ismay membantu sejumlah penumpang lain sebelum masuk ke sekoci terakhir yang meninggalkan sisi samping Titanic. "Jika ia tak melompat, namanya akan menambah daftar mereka yang tewas," kata Mersey.

Ismay sendiri tak pernah bisa mengatasi rasa malu atas tindakannya melompat ke dalam sekoci. Ia mengajuan pensiun dari White Star Line pada 1913, dengan perasaan dan reputasi hancur.

Frances Wilson, penulis How to Survive the Titanic: The Sinking of J Bruce Ismay mengaku simpati pada Ismay. Melihatnya sebagai 'orang biasa yang terperangkap dalam situasi luar biasa'.

Nestapa Penumpang Kelas 3

Salah satu adegan paling emosional dalam film James Cameron adalah penggambaran penumpang kelas tiga, yang dipaksa tingal dan dikurung di dek. Mereka juga dihalangi masuk ke sekoci. Namun, tak ada bukti historis soal itu.

Memang ada batas yang menghalangi penumpang kelas geladak dari orang-orang berduit lainnya. Namun, itu bukan untuk mengantisipasi kecelakaan kapal, tetapi sesuai dengan hukum imigrasi AS dan pencegahan penyebaran penyakit menular.

Sejumlah penumpang kelas 3 termasuk dari Armenia, China, Belanda, Italia, Rusia, Skandinavia, Suriah, dan Kepulauan Inggris.

Masing-masing kelas memiliki akses ke dek mereka sendiri yang memiliki jatah sekoci. Kecuali kelas tiga. Tak ada kapal penyelamat yang disimpan di kelas itu. Penumpang kelas tiga harus melalui labirin dan tangga untuk mencapai dek kapal.  

Lord Mersey mencatat bahwa ada penumpang kelas 3 yang "enggan" untuk meninggalkan kapal, "tidak mau berpisah dengan bagasi mereka", atau menghadapi kesulitan menuju sekoci.

Namun, tidak ada bukti yang menunjuk adanya niat jahat untuk menghalangi penumpang kelas 3 -- kecuali pengawasan berdasarkan ketaatan membabi buta pada peraturan, yang hasilnya mematikan.

Tak semua penumpang berduit tak punya hati. Saat sekoci diturunkan, awak kapal memerintahkan, 'perempuan dan anak-anak' jadi prioritas, sebanyak 115 pria dari kelas utama dan 147 pria dari kelas 2 berdiri dan keluar dari sekoci, dengan ganti nyawa mereka.

Tidak ada penumpang kelas 3 bersaksi di penyelidikan Inggris, tetapi mereka diwakili oleh pengacara, WD Harbinson, yang menyimpulkan bahwa: "Tidak ada bukti yang akan memperkuat tuduhan bahwa ada upaya menghalangi penumpang kelas 3."

Meski demikian, kurang dari sepertiga dari penumpang kelas 3 yang selamat. Sementara, perempuan dan anak-anak dalam jumlah besar selamat, dari semua kelas, karena mereka diberi prioritas di sekoci. (Tnt)