Sukses

Laga Bola Akbar 2014 Akan Menggusur Rakyat Miskin Sao Paulo?

Ribuan penduduk miskin di Brasil menyalahkan pembangunan gelanggang sehubungan dengan naiknya harga sewa tempat tinggal mereka.

Liputan6.com, Sao Paulo Pemerataan pembangunan memang merupakan hal yang peka dalam masyarakat negara-negara berkembang. Perasaan cemburu bisa muncul ketika masyarakat merasa ada ketidakadilan berlangsung begitu saja secara kasat mata, walaupun penyebabnya belum tentu seperti yang diduga.

Laga Bola Akbar 2014 juga menimbulkan gesekan-gesekan kemasyarakatan yang dimaksud. Berikut ini laporan yang dilansir dari Huffington Post, 8 Mei 2014.

Ribuan penduduk miskin di Brasil tinggal secara tidak sah di sebidang tanah di dekat gelanggangg Laga Bola Akbar 2014 di mana pertandingan pembukaan akan dimainkan bulan depan. Mereka menyalahkan pembangunan arena itu sehubungan dengan naiknya harga sewa tempat tinggal yang memaksa mereka meninggalkan rumah-rumah mereka.

Sambil bergelut dengan berbagai masalah seperti serangan serangga, kekurangan pangan, dan ketiadaan ruang pribadi, keluarga-keluarga menempati sebidang lapangan yang terletak di perbukitan hijau di sisi timur kota Sao Paolo hingga membentuk suatu perkampungan yang berjarak hanya 3,5 kilometer dari gelanggang yang dibangun untuk pesta bola sejagad itu.

Para pendatang baru sudah mulai menggali tanah, mematok pasak-pasak kayu ke dalam tanah dan mengkaitkan terpal dan kantong-kantong plastik untuk mendirikan rangka-rangka sederhana demi memperindah kota kemah itu.

Di kejauhan, gelanggang Itaquerao terlihat seperti mengambang layaknya piring terbang, sedikit lebih tinggi daripada dinding pepohonan.

Ketimpangan pendapatan

Kira-kira ada 5.000 orang yang menyerbu tanah pribadi ini dengan alasan naiknya harga sewa dikarenakan demam real-estate Laga Bola Akbar 2014  di daerah sekitar gelanggang.

Namun pendudukan itu telah sesungguhnya menjadi perlambang ketimpangan pendapatan yang berlangsung lama dan rasa frustrasi kaum miskin negara itu karena pemerintah malah memusatkan pembelanjaan anggaran untuk arena kelas dunia daripada menyediakan lebih banyak perumahan terjangkau dan memperbaiki sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, dan sarana publik yang karut marut.

“Kami tidak membenci Laga Bola Akbar itu,” jelas Rita de Cassia, seorang juru rawat berusia 35 tahun yang menceritakan bagaimana pemilik tanah melipatgandakan harga sewa untuk rumahnya yang hanya memiliki satu tempat tidur, sedemikian rupa sehingga memaksa keluarganya hengkang dari tempat mereka berteduh.

“Kami melawan cara bagaimana mereka mempersulit kami. Mereka mendahulukan sepak bola dan melupakan keluarga-keluarga, orang-orang Braail.”

Ibu tiga anak itu melanjutkan ceritanya bahwa suaminya yang seorang perajin kayu telah menganggur dan mereka hidup dengan gaji bulanan seorang juru rawat setara 350 dollar AS, yang terpotong sekitar 110 dollar AS untuk sewa bulanan.

Belakangan, pemilik rumah memberitahukan kepada mereka di awal tahun ini bahwa harga sewa rumah di kawasan Itaquera telah dinaikkan menjadi setara dengan 220 dollar AS.

“Jelas-jelas kami tidak mempunyai uang sebanyak itu,” katanya. “Mana bisa membeli pakaian. Mana bisa beli makanan.”

Menggalang kekuatan

Ia bergabung dengan ribuan orang lainnya yang dikumpulkan oleh suatu kelompok yang disebut Gerakan Pekerja Tunawisma (Homeless Workers Movement, atau Movimento dos Trabalhadores Sem Teto - MTST), yang telah membantu keluarga-keluarga itu membangun tenda-tenda.

Robson Goncalves, salah satu pemimpin gerakan yang mengawasi pendudukan yang diberi julukan “The People’s Cup” ini mengatakan bahwa ia tidak mengetahui siapa pemilik tanah seluas 150.000 meter persegi itu. Menurutnya, tanah itu sudah diterlantarkan selama sekitar 20 tahun, dan mengamati bahwa tidak ada yang mengakui kepemilikan atasnya sejak keluarga-keluarga miskin mulai menggelandang ke sana di akhir pekan lalu.

“Semenjak mereka mulai membangung gelanggang itu, para pemilik rumah mulai berlebihan. Kawasan ini jadi hanya terjangkau oleh mereka yang berada di kelas atas,” kata Goncalves.

Ia mengatakan bahwa pemerintah harus melakukan distribusi ulang atas tanah itu untuk perumahan berbantu dan mengacu kepada program federal yang telah membangun ratusan ribu rumah untuk keluarga-keluarga yang berhak untuk pinjaman perumahan berbunga rendah.

Walikota Sao Paulo, Fernando Habbad, mengatakan kepada media bahwa ia sedang mempelajari bagaimana caranya mendaftarkan tanah itu supaya keluarga-keluarga miskin itu bisa pindah ke sana secara syah. Namun demikian, para pemberi kritik mengatakan bahwa anggota masyarakat lainnya sudah lama menunggu rumah atau rusun yang didanai pemerintah di Sao Paulo. Kota itu mengalami kekurangan perumahan hingga 230.000 rumah.

Apa penyebab sebenarnya kenaikan harga sewa?

Beberapa pakar mempertanyakan apakah memang Laga Bola Akbar 2014 memang bisa dipersalahkan untuk kenaikan harga sewa di dekat gelanggang itu. Pedro Teddei Neto, seorang arsitek dan pakar perencanaan kota daru Universitas Sao Paulo mengatakan bahwa gegap gempita Laga Bola Akbar 2014 tidak akan memberi dampak yang berkepanjangan pada harga real estate.

Menurutnya, peningkatan harga sewa di Itaquera menunjukkan adanya spekulasi akan perkembangan di masa depan di kawasan industri di pinggiran kota dan bisa saja terkait dengan menggelembungnya sektor real property maupun inflasi di negara yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar di  Amerika Latin itu.

“Tentu saja ada banyak spekulasi.  Hal itu tidak bisa dihindari. Laga Bola Akbar 2014 segera datang dan malah membuat orang-orang khawatir,” ujarnya. “Setelah Laga Bola Akbar 2014 selesai, kita kembali kepada kenyataan.”

Sementara itu, mereka yang berdiam di perkampungan gelandangan mencoba bangkit di atas kehidupan mereka yang tercabut dari akarnya itu.

Baru-baru ini, seorang bocah lelaki mendorong temannnya di dalam gerobak. Sementara itu, seorang gadis cilik memeluk paha ibunya waktu orang-orang luar melintas. Seorang wanita mengeringkan rambutnya setelah selesai mandi di tempat mandi umum, sedangkan seorang wanita lagi menanak bagian terakhir dari 60 kilogram beras yang disiapkannya untuk para penghuni hari itu.

“Pemerintah mungkin mencoba memperlakukan kami seperti perusuh atau pengganggu, namun kami adalah keluarga-keluarga,” kata De Cassia. “Kamu kira saya ingin mempunyai anak perempuan semuda anak saya ini berkeliaran di jalanan? Tidak. Saya layak mendapatkan hak saya.” (Ein)