Sukses

Media Sosial dan Kisah Peperangan di Garis Depan

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, suasana di garis depan dapat langsung hadir apa adanya di hadapan para pemirsa.

Liputan6.com, Sydney Kisah-kisah peperangan selalu menimbulkan kengerian bagi para pemirsanya. Ketika berlangsungnya Perang Dunia II atau Perang Vietnam, kisah-kisah pertempuran dari garis depan dinanti-nanti selama berminggu-minggu—bahkan berbulan-bulan—oleh mereka yang ada di tanah air.

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, suasana di garis depan dapat langsung hadir di hadapan para pemirsanya dan dengan apa adanya, seperti dilansir dari Daily Mail (10/5/2014) sebagai berikut:

Ia bergaya dengan bazooka di tengah-tengah gurun di Suriah, namun “Ahmed Shaheed III” tetap menyembunyikan wajahnya dalam foto yang memberikan gambaran tentang suasana perang di Suriah.

Mantan mahasiswa di Bond University dari Sydney ini menceburkan diri ke dalam perang yang mengerikan di Timur Tengah. Ia sekarang berada di Aleppo, di bagian barat laut Suriah, terkunci di tengah perang sipil melawan Angkatan Bersenjata Suriah.

Suatu video yang diunggah melalui Facebook kepada teman-temannya menggambarkan markas Amerika di Afghanistan sedang dihancurkan menggunakan bom. Di video lain, seorang sheikh dari Sydney yang gugur di Suriah tahun 2012, Mustapha Al Majzoub, sedang memberikan kuliah.

Namun yang paling menggentarkan adalah foto-foto senjata-senjata dan aneka ragam bahan peledak dan video tentang Shaheed berlatih menembak di negeri yang tercabik-cabik itu. Ada suatu foto dirinya dengan senapan mesin berdaya tinggi dengan empat peluru berukuran besar.

Di bulan Februari lalu, Shaheed memasang video yang menggambarkan markasnya sedang diserbu oleh musuh. Ledakan besar dan adu tembak artileri terdengar dalam video itu.

Dalam video lain, Shaheed menyembunyikan diri di balik topeng Guy Fawkes selagi menembak ke kejauhan dengan senjata otomatis.

Dalam suatu posting panjang baru-baru ini, ia melontarkan kritik terhadap Barat karena memulai perang dan memanggil saudara-saudara seiman untuk angkat senjata dan ikut bertempur supaya membebaskan kaum muslim dari penindasan dan mengembalikan kehormatan.

Ia bertutur ‘betapa asyiknya’ saat ia bergerak menuju suatu bangunan berpakaian dalam seragam loreng dan menggunakan tutup kepala sembari menembakkan suatu senapan mesin ke bagian bawah gedung tersebut.

Shaheed menyebutkan Sydney sebagai kampung halaman dan ia ikut dalam suatu kelompok Facebook yang dipergunakan orang-orang dari seluruh dunia yang pernah pergi umroh.

Shaheed merupakan salah satu dari semakin banyaknya kaum muda Australia yang memilih untuk berperang di Suriah. Para pejabat anti-terorisme mengkhawatirkan perang itu yang dapat mengubah seorang yang moderat menjadi radikal.

Di awal minggu ini, seorang ibu empat anak berusia 29 tahun ditangkap bersama-sama anak-anaknya di bandara Sydney ketika sedang akan menaiki pesawat menuju negara yang sedang bertikai di Timur Tengah itu.

Ia ditengarai sedang berusaha menyelundupkan peralatan ke medan perang bagi pejuang Suriah—termasuk suaminya—dan ia kedapatan membawa uang tunai serta pakaian seragam perang.

Di bulan Januari lalu, harian The Sydney Morning Herald melaporkan bahwa seorang pensiunan berusia 39 tahun, Hamdi Alqudsi, didakwa dengan rekrutmen pemuda setempat untuk bergabung dalam kelompok-kelompok teroris di Australia.

Timbul kekhawatiran bahwa Facebook dan bentuk-bentuk media sosial lain dipergunakan untuk menggalang dukungan untuk pertempuran di Suriah.

Ada sejumlah kelompok chat yang ditujukan kepada kaum muslim Sydney dan membujuk para peserta untuk bertemu satu sama lain dan mengupayakan perjalanan ke negeri yang sedang dilanda perang itu.