Liputan6.com, Aleppo (Suriah) Peledakan hotel Carlton di Aleppo, Suriah, pada tanggal 8 Mei lalu mengubah peta perimbangan kekuatan dalam perang Suriah. Menurut dalang peledakan itu, keberhasilan pemberontak melakukan hal itu merupakan pembangkit semangat. Berikut ini wawancara dengan dalang peledakan, sebagaimana dilansir dari The Guardian, 20 Mei 2014.
Pria yang paling dicari-cari di Aleppo merasa puas. Tidak sampai seminggu lalu, ia membantu memasang bagian terakhir suatu bom berkekuatan 25 ton ke dalam terowongan yang digali di bawah sebuah hotel yang dipenuhi para tentara Suriah.
Baca Juga
“Saya sedang duduk-duduk di ruang ini,” kata Abu Assad, pemimpin pemberontak pelaku peledakan terowongan. Sambil tersenyum, ia menutupi telinganya dan berujar: “Kami mendengarkan ledakan itu dari sini. Hal itu menyenangkan kami.”
Advertisement
Ledakan yang menghancurkan hotel Carlton Citadel di pusat kota Aleppo pada tanggal 8 Mei itu menggetarkan hingga lebih dari 15 kilometer, yakni antara tempat bom itu berada dan tempat di mana pemimpin itu duduk sekarang ini sambil mengenang hari kejadian. Daya hancurnya mengirimkan gelombang kejut yang menerobos komando militer Suriah di sisi barat kota dan belum pernah bisa ditembus hingga adanya ledakan itu. Ledakan juga menyemangati para pemberontak yang telah kelabakan.
Semburan raksasa debu dan puing yang menyembur hingga ratusan meter ke langit saat hotel itu runtuh dan menewaskan 30-50 pasukan Suriah itu menjadi salah satu gambar yang paling mencengangkan selama perang sipil Suriah. Selama tiga tahun ini kita menyaksikan kilatan-kilatan tembakan, rudal Scud, serbuan senjata kimia dan bom bunuh diri, tidak banyak pemandangan yang begitu spektakuler dan terjadi secara langsung.
“Inilah salah satu hal terbaik tentang operasi ini,” kata Assad. “Yakni bahwa dampaknya terhadap semangat langsung terasa. Sejak saat itu, orang-orang kami jadi lebih ingin lagi bertempur. Kami menyebutnya dengan “Operasi Gempa Aleppo.”
Menurutnya, hotel Carlton dipergunakan sebagai barak oleh para perwira polisi Suriah dan laskar-laskar yang disebut dengan shabiha. Para pejabat Suriah dengan geramnya mengutuk serangan itu dan bom terowongan yang dipakai oleh para pemberontak, yang dianggap membunuh dan melukai tanpa pandang bulu dan meruntuhkan semangat dan jatidiri kota itu.
Dengan menikmati keberhasilan peledakan bom itu, Assad memilih untuk membuka dirinya kepada Guardian sebagai pemimpin peristiwa terowongan Aleppo. Ia mengaku tidak ambil pusing dengan kenyataan bahwa mempertontonkan wajahnya menjadi alasan tambahan bagi militer Suriah yang geram itu untuk memburunya. “Saya ingin mereka takut kepada saya,” katanya. “Mereka harus mengetahui bahwa saya mengincar mereka.”
Kelompok pemberontak bawah tanah ini, yang terdiri dari sekitar 100 orang, dipuji karena telah melakukan lebih banyak hal dalam waktu yang lebih singkat daripada kelompok lain manapun selama perang 38 bulan ini untuk menabuh gendang perang terhadap militer yang sedang naik daun dan telah merebut kembali desa-desa dan kota-kota selama setahun terakhir.
Untuk mendapatkan dampak hingga ke permukaan tanah, para pelaku menggali setidaknya sembilan kali dalam enam bulan terakhir ini saja. “Setiap ada suara aneh, setiap pergeseran di tanah, mereka pasti mengarahkan kecurigaan kepada kami. Ia menambahkan bahwa gagasan untuk mulai menggali didapat dari seorang Palestina yang mengunjunginya di utara Suriah tahun lalu.
“Mereka bilang cara ini lumayan berhasil di Palestina, jadi saya memutuskan untuk mencobanya. Tidak susah mencari bahan peledak. Saya sendiri telah mengawasi pengerjaan sembilan terowongan.”
Tidak rumit mencari para sukarelawan yang disiapkan untuk menggali melalui cadas dan bebatuan di bawah jantung purba kota Aleppo, melalui bangunan busur dan rumah-rumah dan mesjid-mesjid berusia ribuan tahun yang memisahkan penguasa sekarang dan pasukan pemberontak. Di beberapa tempat.
Assad, yang dulunya seorang perakin kayu sebelum perang ini, mengatakan bahwa terowongan hotel itu panjangnya 107 meter dan perlu 33 hari untuk menyelesaikannya. Galian-galian bawah tanah lainnya membentang hingga 860 meter dan perlu waktu hingga berbulan-bulan.”Kami memiliki lebih banyak lagi kejutan-kejutan, Insya Allah,” katanya. “Sedikit lebih lama.”
Kejadian ini berkisah banyak tentang konflik tak berkesudahan, yakni bahwa pergerakan-pergerakan sesungguhnya dalam suatu medan tempur yang mandeg telah kembali kepada bentuk pertempuran masa lalu yang sudah usang.
Senjata kimia dipakai dalam Perang Dunia I, tapi saat itu belum menjadi pelanggaran, dan telah membantu penguasa mempertahankan Damaskus. Rudal-rudal Scud, senjata pamungkas pilihan penguasa sekitar seperempat abad lalu, telah meluluh lantakkan di utara negeri itu. Dan sekarang bom-bom terowongan, yang pertama kali dipakai oleh pasukan Romawi, kemudian di abad pertengahan, lalu oleh Ivan Yang Menggetarkan, pasukan Inggris di front barat, dan para militan Palestina di Gaza, malah memberikan hasil ketika serangan-serangan konvensional telah gagal.
Kekejian abad pertengahan menjadi khas Suriah, di mana lebih dari 162.000 orang telah tewas sejak perselisihan itu menjelma menjadi perang terbuka, dan lebih dari setengah jumlah penduduk negeri itu mengungsi.
Assad khawatir bahwa tidak ada yang berubah di sisi utara negeri ini, yang adalah tempat penentuan dalam perang ini untuk siapapun yang menang nantinya.
“Kami berpikir sangat keras sebelum kami beranjak memasuki perang jenis ini,” katanya. “Namun kami tidak punya pilihan. Kami perlu melakukannya seperti ini untuk membantu kami dan membantu rakyat.”
“Terowongan pertama yang kami gali dimulai pada hari ke 20 dalam bulan Ramadan tahun lalu. Dalamnya hanya 17 meter dan tidak panjang.
Terowongan itu, seperti delapan lainnya yang digali oleh kesatuannya, menciptakan lintasan menembus inti bersejarah Aleppo. Kesatuan pemberontak itu merupakan bagian dari kesatuan pemberontak di utara, yakni Loma al-Tawheed.
Kedua belah pihak berhadapan satu sama lain dekat citadel yang telah termasuk dalam daftar UNESCO dan telah tegak berdiri menghadapi serbuan dan kepungan selama hampir 3000 tahun lamanya. Perang laknat ini bisa jadi merupakan ancaman paling serius terhadap tembok-tembok batu yang kokoh itu, yang terancam oleh bom-bom terowongan oleh para pendukung Assad.
Dari titik dekat pintu masuk terowongan yang digunakan untuk menghancurkan hotel itu, citadelnya tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Temboknya menjulang dengan angkuhnya dimulai dari tepian tanah tak bertuan sekitar 200 meter jauhnya. Kertas-kertas dan sampah terbang berpusaran dekat tempat temboknya berdiri. Tapi tidak ada satu jiwapun terlihat melintas melalui bangunan dan reruntuhan kosong di dekatnya. Tapi, bangunan Hotel Carlton merupakan dengan batu bata.
“Jika mereka ingin membicarakan tentang tempat-tempat bersejarah,” kata Abu Assad mengenai para pejabat Suriah, “mari kita lihat apa yang telah mereka lakukan. Mereka membakar pasar tua [dekat sini]. Hampir semua mesjid-mesjid tua telah mereka rusak.
“Kami telah melakukan apapun yang kami bisa untuk tidak menyentuh tempat-tempat penting. Kami memahami betapa pentingnya tempat-tempat itu.”
Suatu persenjataan berat terdengar dari dalam citadel, namun para pemberontak yang berjaga di garis depan tidak bergeming. Melalui pipa-pipa plastik yang dipakai sebagai tempat-tempat untuk penembak jitu, mereka belum melihat satupun tentara penguasa selama setidaknya tiga bulan dan rentetan tembakan dari dalam benteng itu tidak terlalu mengancam.
“Kami berada di tempat terdepan di sini,” kata Omar Sarkan, seorang pejuang yang lanjut usia, dalam jubah coklatnya. “Mereka tidak bisa maju, tapi terowongan-terowongan ini berguna.”
Kembali ke garis depan lapis ke dua di kawasan industri di sisi timur laut kota, Assad mengatakan bahwa ia punya pesan untuk musuhnya. “Apakah masih ada tentara yang berperang demi Bashar? Bukankah angakatan bersenjata Suriah telah didelegasikan kepada orang-orang Iran, Irak, dan Lebanon [Hezbollah]? Kami punya jauh lebih banyak lagi bom untuk mereka di sisi sebelah sana. Mereka butuh lebih banyak lagi makam.”