Liputan6.com, Bangkok Setelah kudeta di Thailand, pihak militer bergerak cepat untuk menguasai keadaan, sebagaimana dilansir dari BBC, 23 Mei 2014.
Angkatan bersenjata telah mengeluarkan larangan bepergian ke luar negeri bagi 155 orang, termasuk beberapa orang politisi.
Hari Kamis lalu, pihak militer membekukan konstitusi, melarang kerumunan-kerumunan dan menahan beberapa orang politisi dengan alasan perlunya keteraturan setelah kekacauan selama berbulan-bulan lamanya.
Advertisement
Kudeta itu menuai kritik dari dunia internasional. Kudeta terjadi hanya dua hari setelah pihak angkatan bersenjata menetapkan hukum darurat.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, mengatakan bahwa “tidak ada pembenaran” untuk melakukan kudeta, dan mengutarakan kemungkinan penundaan dana bantuan bilateral sebesar 10 juta dollar AS.
Perserikatan Bangsa Bangsa menyatakan kekhawatiran yang serius. Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon menyerukan “untuk segera kembali kepada pemerintahan yang berdasarkan konstitusi, madani, dan demokratis’.
Warga Thailand dikenakan jam malam dari pukul 22.00 hingga 05.00. Secara umum, kota Bangkok tampak damai.
Para pelaku protes telah berbenah dan meninggalkan perkemahan “kaus merah” pendukung pemerintah di pinggiran barat kota Bangkok tanpa timbul kekerasan.
Siaran televisi telah dibatasi oleh pihak militer. Kanal BBC, CNN, dan lain-lain tidak lagi mengudara.
Pemimpin militer, Jenderal Prayuth Chan-Ocha, yang telah menunjuk dirinya sendiri sebagai perdana menteri yang baru, mengatakan bahwa tentara mengambil alih kekuasaan “supaya negeri ini kembali normal secepatnya”.
“Semua warga Thai tetaplah tenang dan pejabat-pejabat pemerintah harus bekerja seperti biasanya,” ujarnya dalam pidato televisi.
Kelompok-kelompok politik telah mengadakan pembicaraan selama dua hari. Beberapa tokoh penting, termasuk pemimpin protes dari oposisi, Suthep Thaugsuban, dan pemimpin protes pendukung pemerintah, Jatuporn Prompan, langsung ditahan. (Ein)