Liputan6.com, New York Krisis Suriah memerlukan pengambilan keputusan yang sehati dan sepikir untuk menyelesaikannya. Namun demikian perbedaan kepentingan negara-negara menjadi ganjalan pengambilan keputusan bersama dalam PBB, sebagaimana dilansir dari PBS, 22 Mei 2014.
Rusia dan Tiongkok mengajukan veto terhadap suatu resolusi Dewan Keamanan PBB hari Kamis lalu yang sedianya memungkinkan Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court—ICC) untuk menyidik kejahatan perang kedua belah pihak dalam perang sipil Suriah yang telah berlangsung selama tiga tahun dan memakan korban hingga lebih dari 160 ribu jiwa.
Baca Juga
Hasil jajak terakhir adalah 13 lawan 2 bagi resolusi Dewan yang terdiri dari 15 anggota, tapi Rusia dan Tiongkok, dua anggota tetap di Dewan Keamanan, menghalangi upaya PBB untuk menyeret Suriah ke pengadilan kejahatan perang. Ini untuk ke empat kalinya dua negara itu mencegah adanya tindakan melawan pemerintahan Presiden Bashar Assad.
Advertisement
Di hari Rabu, sebelum pemungutan suara dilakukan, duta besar Rusia, Vitaly I. Churkin, menyebut resolusi itu sebagai “cari perhatian” yang tidak menghasilkan apa-apa untuk menyelesaikan krisis di Suriah. Sementara itu, duta besar Prancis, Gerard Araud, mengatakan, “Satu veto mampu menutupi semua kejahatan.”
Sebelum pemungutan suara, Wakil Sekretaris Jendral PBB, Jan Eliasson, memohon kepada 15 anggota Dewan Keamanan untuk “menghentikan mimpi buruk yang berkepanjangan ini.”
“Jika para anggota Dewan terus saja tidak bisa bersepakat tentang cara yang bisa meminta tanggungjawab atas kejahatan yang terus berlangsung ini, kredibilitas lembaga ini dan seluruh organisasi akan terus terhempas,” imbuh Eliasson, seperti dilaporkan oleh Michele Kelemen dari NPR.
Setelah kegagalan pembicaraan di Jenewa untuk menyelesaikan krisis di Suriah di awal tahun ini, Prancis membuat suatu rancangan resolusi yang kemudian mendapat dukungan dari lebih 60 negara.