Liputan6.com, London - Di masa depan, menuju angkasa tak harus menggunakan roket dan pesawat. Bisa juga menggunakan elevator atau lift. Konsep pertamanya bahkan dibayangkan sejak dulu, oleh ilmuwan Rusia, Konstantin Tsiolkovsky pada 1895.
Pada prinsipnya, terdengar sederhana -- memperpanjang tali tambatan (tether) dari permukaan Bumi ke angkasa. Namun, dalam praktiknya, sungguh sulit.
Sebab, dibutuhkan banyak material superkuat dan bisa diproduksi dalam jumlah besar untuk membuat kabel yang teramat panjang. Hambatan kedua, tali tambatan harus berada dalam orbit geostrasioner yang berada tepat di atas ekuator Bumi atau khatulistiwa (garis lintang 0°), dengan eksentrisitas orbital sama dengan nol. Juga harus melekat pada penyeimbang yang menjulur jauh ke angkasa luar -- untuk memastikannya tak putus dan menjaga sistem tetap seimbang.
Kini, ahli teknik Peter Debney mengajukan teori untuk mewujudkan ide tersebut. Mengambil inspirasi dari bangunan Katedral Gothic, seperti yang ada di Ulm Minster, Jerman.
Katedral Gothic dengan puncak menara dan keindahan strukturnya, yang dulu menjadi salah satu keajaiban arsitektur, kini menjadi ilham untuk menentang hukum gravitasi.
Ketika membangun bangunan tinggi, dari katedral gotik sampai pencakar langit, dan akhirnya elevator luar angkasa, kekokohan dan keseimbangan berasal dari pusat gravitasinya.
Pada manusia, misalnya, pusat gravitasi berada di sekitar perut. Makin tinggi pusat tersebut berada di atas tanah makin sulit untuk menyeimbangkannya. Sebaliknya, jika pusat gravitasi dibuat makin rendah, makin mudah untuk menyeimbangkannya dan membuat pijakan kaki makin kokoh. Teori yang sama sudah diaplikasikan untuk semua gedung-gedung tinggi. Dengan membuat pondasi kuat dan makin dalam.
Baca Juga
"Gravitasi yang kita alami di permukaan Bumi adalah hasil dari dua komponen," kata ahli struktur Peter Debney seperti Liputan6.com kutip dari Daily Mail, Selasa (3/6/2014)Â "Yang pertama adalah jarak kita dari pusat Bumi -- pusat gravitasi."
Karena bentuk Bumi nyatanya tak seperti bola, perputaran Bumi lebih membuat garis tengah bumi bagian kutub lebih kecil dibanding di khatulistiwa.
Atau dengan kata lain, jari-jari Bumi di khatulistiwa lebih besar dari kutub. "Karenanya, kekuatan gravitasi lebih kecil di khatulistiwa dan maksimal di Kutub Utara dan Selatan," jelas dia.
Tak hanya itu, Debney menjelaskan, karena bumi berputar, maka tercipta gaya sentrifugal yang maksimum di khatulistiwa dan nol di kutub. "Mengkombinasikan 2 efek tersebut secara bersamaan maka, percepatan gravitasi efektif lebih kecil di khatulistiwa dan maksimal di kutub."
"Jika gaya sentrifugal dari rotasi bumi mengimbangi gaya gravitasi, apa yang terjadi jika Anda berada di gedung yang makin tinggi?" kata Debney. "Efek pertama adalah gravitasi berkurang karena Anda berada jauh dari pusat gravitasi, sementara gaya sentrifugal meningkat."
Pada suatu titik gaya sentrifugal akan meniadakan efek gaya gravitasi. "Jika Anda berada di khatulistiwa, ini terjadi pada ketinggian sekitar 18.000 km," kata Debney.
Ketinggian tersebut dikenal sebagai orbit geostasioner. "Jika Anda memosisikan satelit di ketinggian ini di atas khatulistiwa, dengan menyesuaikan kecepatannya, maka ia akan mengorbit dalam periode 24 jam dan akan menetap di titiknya."
Apa hubungannya dengan rencana membuat lift ke luar angkasa?
Advertisement
Â
Debney mengatakan, solusi yang ia tawarkan adalah menempatkan satelit di orbit geostasioner, mengulur kabel dari sana menuju permukaan Bumi.
Namun, ia melanjutkan, segera setelah kabel diturunkan, maka hal itu akan mengubah pusat gravitasi satelit, menariknya ke orbit yang lebih rendah, membuatnya bergerak secara relatif terhadap permukaan Bumi.
Untuk menjaga semuanya tetap dalam orbit, Debney menambahkan, kabel juga harus dipanjangkan pada saat yang sama, untuk menjaga sistem tetap seimbang. Karena nonlinear, kabel perlu dipanjangkan ke atas hampir dua kali lipat dari panjang untuk turun ke Bumi.Â
Alternatif lain adalah menggunakan penyeimbang, seperti asteroid yang ukurannya disesuaikan untuk ditempatkan di luar geostasioner untuk jadi penyeimbang dan menyimpan panjang kabel yang berlebihan.
Kabel juga perlu terbuat dari bahan yang dapat menahan bebannya sendiri, seperti graphene atau karbon nanotube.
Graphene atau grafena punya kekuatan super, 20 kali lebih kuat dari berlian, 200 kali lebih kuat dari baja, namun 6 kali lebih ringan. Material tersebut memiliki breaking length -- kekuatan menahan beban sendiri dalam kondisi vertikal -- pada panjang 3.568 kilometer. Namun karena breaking length mengasumsikan gaya konstan gravitasi, dalam ketinggian 18 ribu kilometer kekuatan daya tarik bumi akan berkurang, yang berarti panjang kabel bisa ditambah.
Debney melanjutkan, lift luar angkasa membutuhkan kabel yang meruncing. Seperti piramida menara katedral yang lancip untuk mendukung berat secara efisien -- kabel akan makin runcing ke arah Bumi. "Meski demikian, bisa dipastikan versi awal lift angkasa luar tak akan mencapai tanah, namun dari orbit rendah ke orbit tinggi," kata dia. Â
Sementara, lebar kabel pita akan meminimalisasikan risiko kerusakan akibat kecelakaan saat menginstal lift termasuk yang diakibatkan puing-puing angkasa dan mikro-meteorit. Sementara, potensi jatuhnya kabel juga tak perlu terlalu dikhawatirkan.
Jadi kapan, lift ke luar angkasa akan terwujud. Pada 2012 lalu, Obayashi Corporation yang berbasis di Tokyo mengumumkan rencana untuk membangunnya dan akan dioperasikan pada tahun 2050. (Riz)