Liputan6.com, California - Ilmuwan menemukan bukti keterkaitan salah satu bekas tumbukan asteroid di Bumi dengan kepunahan massal yang terjadi 33,7 juta tahun lalu. Yakni di kawah Popigai. Demikian diungkap dalam konferensi geokimia, Goldschmidt yang digelar di Sacramento, California, Amerika Serikat.
Peneliti dari University of California Los Angeles (UCLA) membandingkan usia batuan dari dasar kawah Popigai dengan masa kepunahan massal di masa Eosen (Eocene) yang terjadi 33,7 juta tahun lalu. Kawah Popigai adalah 1 dari 10 bekas tabrakan batu angkasa terbesar di muka Bumi.
Penentuan usia yang lebih lambat dari perkiraan sebelumnya bisa diartikan bahwa kepunahan di masa Eosen -- di mana perubahan iklim diyakini jadi penyebabnya -- kini punya tersangka lain: musim dingin yang diakibatkan tabrakan asteroid. Ledakan meteorit diketahui dapat memicu pendinginan global, karena partikel-partikel kecil yang dihasilkan menyelimuti atmosfer dan menghalangi panas matahari.
"Saya tidak berpendapat ini adalah bukti utama, namun membuka kemungkinan Popigai terlibat dalam kepunahan massal," kata pemimpin studi, Matt Wielicki dari UCLA seperti Liputan6.com kutip dari situs sains LiveScience, Sabtu (14/6/2014).
Ini bukan kali pertamanya batu angkasa diyakini terlibat dalam kepunahan massal Eosen. Selain Popigai, ada juga 3 kawah asteroid dari masa antara 35 juta dan 36 juta tahun yang lalu, yakni kawah Chesapeake Bay di lepas pantai Virginia, Toms Canyon di lepas pantai New Jersey, dan kawah Mistastin di Labrador, Kanada. Sebelumnya, 4 kawah lain dikesampingkan, karena perhitungan usianya tidak sesuai. Â
Wielicki mengatakan, perhitungan sebelumnya menyimpulkan jatuhnya, batu angkasa yang membentuk Popigai terjadi 35,7 juta tahun lalu. Dua juta tahun dianggap jeda yang terlalu panjang antara ledakan meteorit dengan kepunahan sejumlah spesies. Apalagi, diketahui dampak kosmik yang membunuh dinosaurus 65 juta tahun bersesuaian dengan kepunahan yang terjadi hanya berselang waktu 33 ribu tahun.
Sebelum menemukan peran batu angkasa dalam kepunahan masa Eosen, para ilmuwan hanya fokus pada perubahan iklim: bahwa pendinginan global membunuh banyak spesies saat itu.
Caranya, dengan mengukur isotop oksigen, karbon, dan unsur-unsur lain dalam batuan dari masa Eosen, peneliti dapat memperkirakan suhu dan level gas rumah kaca pada masa lalu Bumi. Isotop adalah unsur dengan jumlah neutron yang berbeda dalam inti mereka.
Dari pertanda yang ada, zaman Eosen diawali dengan kondisi yang sangat hangat, lalu berayun menjadi lebih dingin, kering, kemudian terjadilah kepunahan. Namun, lonjakan tajam dalam sinyal iklim pada akhir Eosen mengisyaratkan terjadinya pendinginan global yang singkat tapi ekstrem, lalu diikuti kembalinya temperatur yang lebih hangat.
"Usia kawah Popigai cocok dan sempurna dengan perubahan iklim global jangka pendek itu," kata Wielicki.
Wielicki berpendapat, dampak Popigai menciptakan persimpangan es global, mirip dengan bencana iklim yang terjadi setelah letusan gunung berapi dahsyat atau ledakan meteorit yang membunuh para dinosaurus. Pemulihan bumi yang relatif cepat, dalam waktu geologi, memungkinkan spesies tanaman dan hewan modern berada di jalur evolusinya.
Nama "Eosen" berasal dari bahasa Yunani eos (fajar) dan ceno (baru) dan merujuk pada "kebangkitan" mamalia modern ("baru") yang muncul pada kala ini.
Akhir zaman Eosen adalah kepunahan massal besar yang terakhir dalam sejarah Bumi. Lebih dari 90 persen siput menghilang, landak laut mendapat pukulan keras, paus bergigi punah dan digantikan spesies yang lebih modern, Pergeseran dramatis mamalia Eropa, yang disebut "Grand Coupure," terjadi segera sesudahnya, setelah transisi Eosen-Oligosen .
Tambang Berlian Triliunan Karat
Baca Juga
Advertisement
Pada September 2012 lalu Rusia mengklaim kawah Popigai yang berdiameter mencapai 100 km, menyimpan harta karun tak terkira: berlian triliunan karat. Jumlahnya pun luar biasa besar, bisa menyuplai pasar dunia selama 3.000 tahun. Jika benar, jumlah itu lebih dari 10 kali lipat persediaan berlian dunia yang saat ini diketahui.
Pemerintah Kremlin, saat Uni Soviet masih berjaya di tahun 1970-an, sejatinya telah mengetahui hal ikhwal tambang harta di bawah kawah selebar 62 mil atau 99,7 kilometer itu. Namun mereka menutup rahasia itu rapat-rapat. Apalagi tujuannya, jika tidak demi mendapatkan keuntungan melimpah.
Kala itu, Uni Soviet justru memproduksi berbagai berlian tiruan untuk kepentingan industri yang ternyata juga membawa keuntungan besar.
Baru belakangan Pemerintah Rusia memberi kesempatan pada ilmuwan dari Novosibirsk Institute of Geology and Mineralogy untuk membuka akses ke permata tersembunyi itu.
Kantor berita resmi, ITAR-Tass, menyebut, berlian yang ada dalam situs yang dikenal sebagai Popigai Astroblem, dua kali lipat lebih keras dari permata biasa, membuatnya ideal untuk kepentingan industri dan keilmuwan.
Selama ini, industri berlian yang mendatangkan pundi-pundi uang Rusia sebagian besar bertumpu pada tambang kolosal di Mirny, bagian atas, Yakutia.
Operasi penambangan tersebut dimulai pada tahun 1950-an, saat ilmuwan menemukan deposit berlian dalam jumlah besar di lokasi, sekitar 4.300 kilometer dari Moskow.
Dalam jangka waktu setengah abad setelahnya, ia menghasilkan berlian setidaknya US$17 miliar. Lubang menuju tambang akhirnya ditutup 11 tahun lalu akibat hasil yang berkurang dan isu keselamatan.
Perusahaan berlian milik Rusia, Alrosa kemudian mulai menambang berlian bawah tanah, namun ongkosnya produksinya lebih mahal, apalagi di tengah krisis keuangan.
Sumber baru Popigai Astroblem membuat Mirny terlihat seperti 'lubang kelinci'. (Riz)