Liputan6.com, San Francisco - Boeing 777 milik Asiana Airlines 214 mengalami kecelakaaan di Bandara Internasional San Francisco pada 6 Juni 2013. Awalnya proses pendaratan berjalan wajar, tapi kemudian perut pesawat menabrak dinding pembatas laut, menghantam aspal dan terseret di landasan pacu Runway 28L. Badan pesawat dan sayapnya kemudian terlihat menyembul di antara kepulan debu dan asap, terangkat ke atas, lalu terempas kembali. Â
Pesawat lantas terbakar selagi penumpang berhamburan menyelamatkan diri. Tiga penumpang tewas, termasuk gadis 16 tahun asal China yang meregang nyawa karena ditabrak mobil gawat darurat yang buru-buru datang ke lokasi kejadian. Sementara 187 lainnya cidera.
Kini, setahun berlalu, penyelidik keselamatan udara Amerika Serikat (National Transportation Safety Board) menyalahkan pilot atas kecelakaan tersebut. Pejabat sementara badan pemerintah yang menyelidiki kecelakaan angkutan di AS, Christopher Hart mengatakan, kecelakaan itu terjadi karena para pilot bergantung pada sistem canggih dalam kokpit yang tidak mereka pahami sepenuhnya, terbang terlalu rendah, dan lamban ketika mereka berusaha mendaratkan pesawat Boeing 777 itu.
Dalam laporan akhir insiden tersebut, badan keselamatan menemukan dugaan bahwa awak pesawat tak bertindak tepat saat menurunkan pesawat, tanpa bantuan alat navigasi. Sementara, salah satu pilot tanpa sengaja mengnonaktifkan sistem pengatur kecepatan udara otomatis. Awak juga dianggap menunda keputusan untuk membatalkan pendaratan.
Kesimpulan akhir, sebagian besar sejalan dengan asumsi awal peneliti terkait insiden kecelakaan udara paling serius di AS sejak pesawat komuter Colgan Air jatuh dari langit Buffalo, dan menewaskan 49 orang pada Februari 2009. Faktor manusia juga disimpulkan jadi penyebab kecelakaan saat itu.
Para ahli penerbangan setuju bahwa otomatisasi pesawat membuat terbang menjadi lebih aman. Begitu juga dengan Boeing 777 yang dianggap paling canggih.
"Namun, otomatisasi yang makin kompleks, makin menantang untuk memastikan bahwa pilot memahaminya," kata Christopher Hart. "Kru pesawat kerap mengandalkan sistem otomatis yang tak mereka pahami sepenuhnya. Akibatnya, mereka menerbangkan pesawat (Asiana) terlalu rendah, terlalu lambat. dan bertabrakan dengan tembok pembatas laut di ujung landasan," demikian Liputan6.com kutip dari CNN, Rabu (25/6/2014).
Detik-detik Kecelakaan
Detik-detik Kecelakaan
Kecelakaan pesawat Asiana Airlines terjadi di tengah cuaca cerah. Seperti dilaporkan BBC, ketika pesawat yang lepas landas dari Incheon di Korea Selatan itu mendekati San Fransisco, setelah perjalanan 11 jam melintasi Samudra Pasifik, tiga dari empat pilot berada di kokpit.
Lee Kang-kuk, yang masih menyelesaikan pelatihan awalnya di Boeing 777 dan belum pernah terbang ke San Fransisco sebelumnya, memegang kendali.
Di sampingnya ada pilot instruktur yang menjadi komandan penerbangan dan ia baru pertama kali melakukannya. Di kursi belakang kedua pilot ada petugas darurat pertama yang telah terbang ke San Fransisco lima atau enam kali sebagai pilot pemantau. Kru keempat, seorang kapten cadangan, berada di kabin saat pesawat mendarat.
Sekitar 34 detik sebelum menghantam landas pacu, pesawat terbang di ketinggian 500 kaki dengan kecepatan 134 knot (284km/jam), ketika pilot instruktur menyadari bahwa pesawat itu terbang terlalu rendah.
Ia meminta pilot menarik tuas ke belakang dan beberapa detik kemudian kendali katup gas otomatis, yang sudah diaktifkan, tidak menjaga kecepatan di 137 knot. Delapan detik menjelang pendaratan, pilot kendali mendorong katup gas ke depan untuk menambah kecepatan.
Kurang dari dua detik sebelum kecelakaan, pilot berusaha menghentikan pendaratan tetapi sudah terlambat.
Pesawat mendekati landas pacu dengan posisi sangat rendah dan roda pendaratan menghantam permukaan laut. Ekor pesawat terperangkap antara laut dan landas pacu kemudian lepas. Pesawat berputar ke kiri dan terus berputar ke 360 derajat sebelum berhenti di sebelah kiri landas pacu. (Sun)
Advertisement