Liputan6.com, Washington, DC Selain penggambaran peta wilayah baru di Timur Tengah, krisis di Irak dan Suriah ditengarai akan mengubah peta kekuatan dan konflik di kawasan itu. Kawan menjadi lawan, dan sebaliknya.
Ancaman dari jaringan ekstremis di seantero Irak dan Suriah merombak tatanan politik di Timur Tengah, demikian disampaikan oleh Presiden Israel, Shimon Peres, dalam suatu wawancara di akhir pekan ini setelah menerima Congressional Gold Medal di Washington. Demikianlah kabar yang dikutip dari Huffington Post, Sabtu 28 Juni 2014.
Baca Juga
Menurut Peres, Israel bukan lagi ancaman yang paling menjadi momok bagi kebanyakan orang Arab di Timur Tengah.
Advertisement
“Hingga saat ini, mungkin Israel menjadi persoalan pertama di mata kebanyakan orang Arab. Hari ini, mereka harus jujur bahwa persoalan sebenarnya bagi orang Arab dan bagi kami bukanlah rasa saling tidak percaya, namun sesungguhnya persoalan teror, yang menjadi bahaya bersama bagi mereka dan kami.”
Peres mengatakan bahwa bisa saja proses perdamaian bermula karena adanya musuh bersama.
“Kita memiliki banyak kepentingan bersama yang tidak ada sebelumnya,” ujarnya sembari mengusulkan untuk mendirikan markas fungsional negara-negara Arab dan Israel untuk memerangi musuh bersama karena kaum teroris sedang meruntuhkan dunia Arab.
Mereka itulah yang menjadi bahaya terbesar bagi dunia Arab, sedemkian juga bahayanya bagi kami. Kita harus memerangi mereka supaya menghentikannya.”
Daulah Islam Irak dan as-Sham (ISIS) telah bersumpah untuk mencaplok Tel Aviv dan Yerusalem dan “membebaskan Palestina” sebagai bagian dari kampanyenya.
“Markas-markas ini sifatnya fungsional, bukan teritorial, karena Hamas ataupun teroris lainnya tidak memiliki tempat tertentu, karena mereka tidak menghormati batas-batas negara, tidak menghormati hukum dan mereka selalu bergera,” katanya tanpa mau menyebut ISIS.
“Kita harus memerangi mereka di segala penjuru, mencari mereka di manapun mereka berada, dan melakukan apapun yang kita bisa untuk mencegah mereka membunuhi orang-orang.”
Tahap Sejarah Baru
Lebih lanjut, Peres mengatakan, Timur Tengah telah memasuki tahap baru dalam sejarah dan tidak akan kembali ke belakang.
“Masa depan sudah ada di sini. Kamu menyaksikan bagian pertama masa depan itu, yaitu runtuhnya Timur Tengah yang kita biasanya kenal. Satu demi satu jatuh,” katanya. “Ada suatu kebutuhan nyata untuk mendirikan Timur Tengah yang berbeda. Timur Tengah harus berubah karena dunia telah berubah.”
Ia melanjutkan, “Kita bukan lagi melihat tentara-tentara yang bertempur satu sama lain, sekarang kita menyaksikan jejaring teroris mencoba untuk menghancurkan semuanya. Bukan hanya dua, tapi ratusan banyaknya. Mereka tidak memiliki dasar bersama, tidak punya masa depan bersama.”
Peres diwawancara oleh seorang blogger Huffington Post setelah menyelesaikan kunjungan resmi ke Amerika Serikat.
Penerima Nobel Perdamaian ini pernah berdinas di pemerintahan Israel selama 67 tahun dan meninggalkan jabatan presiden Israel pada 24 Juli nanti.
Banyak pihak di Washington, termasuk para hakim Mahkamah Agung dan pemimpin kongres, menghadiri pertemuan dengan pemimpin berusia 90 tahun itu di Kedutaan Besar Israel pada Rabu lalu.
Mantan perdana menteri dan menteri pertahanan itu dianugerahi Congressional Gold Medal di Capitol Rotunda par hari Kamis lalu. Selain dirinya, hanya ada 3 orang lain yang mendapat 3 penghargaan berharga itu (Nobel Perdamaian, Medal of Freedom, dan Congressional Gold Medal), yaitu Bunda Theresa, Nelson Mandela, dan Aung San Suu Kyi.
Advertisement
Berani Ambil Risiko
Ketika ditanya apakah Israel berani mengambil risiko untuk melindungi Yordania seandainya ISIS menyerbu kerajaan itu, Peres mengatakan bahwa melakukan hal itu tidak semena-mena tindakan yang bertujuan hanya menguntungkan diri sendiri.
“Kita tidak mengambil risiko atas satu nyawa untuk satu nyawa lainnya. Kita berusaha membela kehidupan dua-duanya karena kita memiliki musuh bersama,” katanya.
Peres yang sebelumnya bertemu dengan Presiden Barack Obama di Oval Office, Rabu lalu, memuji Obama dalam wawancaranya.
“Saya sangat menghormati Obama. Saya pernah bekerjasama dengan 10 orang Presiden Amerika, baik Republik maupun Demokrat. Sejauh terkait denganb keamanan Israel, ia telah melaksanakan apa yang bisa dilakukan oleh seorang Presiden Amerika. Kami mempercayai, menghargai dan bersyukur atas dukungannya.”
Ia bersikap keras kepada mereka yang mengatakan bahwa Obama bukanlah sahabat Israel.
“Orang-orang yang berkata-kata demikian hanyalah mereka yang senang isapan jempol. Kita sekarang hidup di mana pencitraan bersifat penting, sehingga kita mengabaikan fakta-faktanya. Yang penting adalah apa yang ada dalam jejak hidupnya, bukan kabar burung.”
Ia juga membela Obama terhadap kritik tentang bagaimana kebijakan pemerintahannya atas Suriah.
“Mengenai urusan Sunni dan Syiah, itu bukanlah urusan Amerika Serikat atau siapapun untuk mengatur siapakah penerus Muhammad,” katanya. “Hal ini merupakan masalah muslim dan Arab dan mereka harus sendiri yang menyelesaikannya. “
“Saya kira cara terbaik dan benar untuk disampaikan kepada dunia Arab…bapak-bapak yang terhormat, ini adalah masalah kalian dan kalian harus mencari jalan penyelesaiannya. Bala tentara Amerika tidak bisa menyelesaikan masalah keagamaan yang bukan urusannya.”
Menurutnya, di Suriah ada setidaknya satu kelompok yang sudah maju selangkah. “Kaum Kurdi sesungguhnya telah mendirikan negera mereka sendiri. Inilah faktanya.”
Pemerintahan Kesatuan Otoritas Palestina
Peres juga mencela pembentukan pemerintah kesatuan Fatah-Hamas Palestina sebagai sesuatu yang “salah” dan mempertanyakan keberlangsungannya dalam jangka panjang. Secara berempati, ia membantah pemerintahan Obama telah mengakui kelompok teroris Hamas, sebagaimana dituduhkan oleh para pemberi kritik kebijakan luar negeri.
“Obama tidak mengakui Hamas,” kata presiden Israel itu. “Posisinya tentang Hamas tetaplah sama.”
Kecamannya terhadap Hamas tidak menghalangi untuk memuji sahabatnya selama 20 tahun terakhir ini, presiden otoritas Palestina, yakni Mahmoud Abbas, sebagai “seorang pemberani dan rekan yang hebat.”
Secara khusus ia menekankan pidato Abbas baru-baru ini dalam suatu sidang di Jeddah, Saudi Arabia.
“Untuk pertama kalinya, seorang pemimpin Arab berdiri bukan di luar dunia Arab, tapi di jantung dunia Arab, Saudi Arabia. Ia berbicara bukan dalam bahasa Inggris, bukan bahasa Ibrani, tapi dalam bahasa Arab. Ia mengecam penculikan dan teror dan menyerukan perdamaian.”
“Ia menyerukan kerja sama kekuatan-kekuatan Israel dan Palestina untuk menghentikan teror. Nah, hal ini merupakan sesuatu yang belum ada duanya dan belum pernah terjadi sebelumnya,” lanjutnya.
Peres, yang dikenal sebagai seseorang yang optimis akan perdamaian Timur Tengah itu, terlihat ingin menggugah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk memulai pembicaraan-pembicaraan perdamaian.
Katanya, “Jika kita memiliki ketidaksetujuan, manfaat negosiasi adalah untuk mengatasi ketidaksetujuan itu dan menemukan ruang bersama." (Yus)
Advertisement