Sukses

Letusan Gunung Terdahsyat dalam 2.000 Tahun Terjadi di Indonesia

Dari 26 inti es yang dibor, dari 19 situs berbeda menunjukkan, ada 116 erupsi gunung berapi dalam kurun waktu 2 milenium.

Liputan6.com, Nevada - Sejumlah letusan gunung terdahsyat dalam kurun waktu 2.000 tahun meninggalkan jejak tak terhapuskan jauh di dalam lapisan es murni di Antartika. Berupa partikel sulfur dioksida atau belerang dioksida.

Dengan mempelajari endapan debu sulfat dalam serangkaian inti es yang dibor jauh ke dalam lapisan es di Antartika Barat, para ilmuwan berhasil menelusuri sejarah letusan gunung berapi pada Common Era -- 2.000 tahun terakhir dari sejarah manusia.

Para ilmuwan, yang dipimpin Michael Sigl dan Joe McConnell dari Nevada's Desert Research Institute (DRI) mempelajari data inti es dari 19 situs sepanjang Antartika.

Dari 26 inti es yang dibor, dari 19 situs berbeda menunjukkan, ada 116 erupsi gunung berapi dalam kurun waktu 2 milenium, yang cukup besar untuk menghasilkan gumpalan debu sulfat vulkanik yang terhembus hingga sejauh Kutub Selatan.



Sejumlah besar erupsi tersebut belum terindentifikasi, namun, yang terdahsyat diketahui terjadi pada 1257. Yang direkam dalam kronik Abad Pertengahan, juga lingkaran pohon. Ilmuwan mengidentifikasi, deposit sulfat tersebut berasal dari Gunung Samalas (Rinjani) di Pulau Lombok, Indonesia.

Saking dahsyatnya, hanya sedikit struktur gunung api yang tersisa -- kini tampilannya hanya berupa danau kawah Segara Anak. Tim ilmuwan mengaitkan jejak sulfur dan debu di es di kutub dengan data yang ditemukan di wilayah Lombok, termasuk unsur radiokarbon, tipe dan penyebaran batu dan abu, cincin pepohonan, dan bahkan sejarah lokal yang menyebut tentang runtuhnya Kerajaan Lombok di suatu masa Abad ke-13.

Letusan terbesar kedua, dalam hal deposito sulfat yang ditemukan di inti es Antartika, adalah ledakan kaldera Kuwae di Vanuatu yang terjadi pada 1458.

Cerita rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi menggambarkan kehancuran total di pulau terdekat, menewaskan sejumlah orang dan memaksa lainnya lari.

Letusan terbesar ketiga, berdasarkan inti es, juga terjadi di Nusantara. Yakni letusan Gunung Tambora yang terjadi pada 1815. Tak ada musim panas setahun kemudian pada 1816 atau "year without a summer" akibat  debu vulkanik di atmosfer menutupi cahaya Matahari dan menurunkan suhu Bumi.

Debu atmosfer menciptakan matahari terbenam yang spektakuler, yang ditangkap oleh seniman William Turner dalam lukisannya. Sementara, curah hujan yang berkepanjangan di musim panas memaksa Mary Shelley tinggal di dalam rumah, namun menghasilkan karya sastranya yang paling terkenal: Frankenstein atau The Modern Prometheus.



Sementara, letusan keempat yang paling kuat terjadi sekitar 674 Masehi -- belum ditentukan persis di mana kejadiannya. Bisa jadi letusan Pago di Bismarck pada 710 Masehi, atau letusan Gunung Churchill di Alaska timur pada 700 Masehi.

Letusan terdahsyat kelima dan keenam  terjadi antara 500 sampai 600 Masehi. Bisa jadi erupsi Kaldera Rabaul di Papua Nugini yang berlangsung pada tahun 535 dan 536 Masehi.

Ledakan paling kuat ketujuh terjadi tak lama setelah Samalas, dan mungkin adalah letusan Quilatoa di Andes pada tahun 1280.

Berdasarkan perkiraan, erupsi terkuat ke-8 terjadi pada Kaldera Ilopango di Amerika Tengah. Yang kesembilan adalah letusan Grímsvotn and Laki di Islandia pada 1785, dan tempat kesepuluh terjadi tak lama sebelum  Samalas dan bisa saja adalah letusan Gunung Rinjani.



Catatan vulkanik akan digunakan untuk menilai dampak letusan gunung berapi di masa lalu. Terutama pengaruhnya terhadap suhu global, yang tertekan selama beberapa tahun sebagai akibat debu vulkanik di atmosfer yang menghalangi sinar matahari dan menyebabkan gangguan cuaca lainnya seperti curah hujan berkepanjangan.

Penelitian terbaru menggunakan berbagai data sulfat di inti es dunia, termasuk West Antarctic Ice Sheet (WAIS) Divide ice core -- yang dianggap menjadi catatan yang paling rinci mengenai sulfat vulkanik di Belahan Bumi Selatan.

"Rekor ini memberikan dasar untuk perbaikan dramatis dalam rekonstruksi data emisi vulkanik selama abad terakhir dan ribuan tahun," kata penulis utama laporan itu Michael Sigl, seperti dimuat Daily Mail, Senin 7 Juli 2014.

Rekonstruksi ini penting untuk membuat model simulasi yang akurat yang digunakan untuk menilai perubahan iklim alami dan antropogenik masa lalu.

Yang pada akhirnya mendukung keputusan kebijakan lingkungan, termasuk untuk mengatur emisi gas rumah kaca dan aerosol untuk mengekang pemanasan global yang diproyeksikan. Temuan tersebut diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change. (Riz)

Video Terkini