Sukses

Bantuan Amal Mengalir ke Jalur Gaza

"Semua warga Palestina telah menderita. Kami tidak membeda-bedakan berdasarkan agama," kata Pastor Raed Abusahliah.

Liputan6.com, Yerusalem Parahnya penderitaan warga sipil Palestina di Jalur Gaza perlu ditangani dengan segera. Beberapa memberikan bantuan dan uluran tangan untuk membantu meringankan penderitaan para korban. Bantuan kemanusiaan datang dari berbagai pihak di seluruh dunia.

Namun begitu, masih ada badan-badan amal yang khawatir bantuan mereka malah disalahgunakan. Ketika pastor Raed Abusahliah, direktur kelompok amal kemanusiaan Katholik, Caritas Jerusalem, menggalang sumbangan pangan, pakaian dan beberapa pasokan vital lainnya untuk warga Gaza, ia mengharapkan bantuan dari warga Kristen dan muslim yang ingin membantu sesama manusia untuk pulih dari kehancuran yang tersisa dari konflik antara Hamas dengan Israel.

Abusahliah tidak menyangka bahwa bantuan amal justru membanjir dari warga Yahudi di Israel, yang menjadi lebih dari setengah jumlah 600-700 penyumbang ke kelompok amal itu. Demikianlah yang dilansir Liputan6.com dari USA Today (11 Agustus 2014).

"Saya akui bahwa saya agak kaget," ujar pastor Katolik Palestina itu. "Banyak warga Yahudi juga mengirimkan pesan-pesan solidaritas dan menawarkan segala sesuatu dari pakaian-pakaian bayi hingga donor darah."

Setelah gencatan senjata terus berlangsung pada Senin lalu dan Hamas dan Israel berupaya mencari perjanjian jangka panjang, jatuhnya korban selama peperangan itu menimbulkan pilihan dilematis bagi banyak warga Israel: bagaimana menolong warga-warga sipil Gaza tanpa ditunggangi kepentingan tertentu.

Pemerintah Israel mengatakan bahwa di pihak mereka 64 tentara dan 3 warga sipil tewas. PBB telah menghitung lebih dari 1.900 korban tewas warga Gaza, termasuk 448 anak-anak dan sekitar 1.000 warga sipil lainnya.

Ada 250.000 lagi warga Gaza yang kehilangan tempat tinggal, sebagaimana dikatakan oleh Kementerian Kesehatan Palestina. Di lain pihak, Israel mengklaim bahwa hampir setengah dari jumlah korban tewas warga Palestina sebenarnya adalah kematian para pejuang Hamas.

Walaupun perhitungan suara di Israel menunjukkan bahwa kebanyakan kaum Yahudi yakin bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) tidak punya pilihan kecuali menembaki Gaza untuk menghentikan serangan roket yang hampir 3.500 satuan banyaknya selama 5 minggu belakangan ini, "hal itu tidak berarti bahwa kami menganggap warga sipil di Gaza sebagai musuh kami," kata Angy Shavit, seorang warga Yahudi yang menyebarkan kegiatan Caritas melalui media sosial.

Shavit, yang secara politik condong ke sayap kiri, mengatakan bahwa banyak teman Palestinanya di Gaza mengirimkan daftar keperluan termasuk kertas toilet, popok, susu formula untuk bayi, dan obat tetes mata.

Selama meluangkan waktu di Gereja Saint Anthony di Jaffa di antara karton-karton berisi gula, tepung, air kemasan, popok, penyeka bayi, dan barang-barang penting lainnya yang bertuliskan bahasa Ibrani, Shavid menduga bahwa kebanyakan warga Yahudi Israel "tidak merasa bersalah" dengan operasi militer Israel terhadap Hamas, yang oleh AS, Uni Eropa, dan Israel ditetapkan sebagai organisasi teror. "Hanya saja, ketika seorang bayi memerlukan popok, maka disumbanglah popok."

Prakarsa ini dan sejumlah prakarsa lainnya, seperti misalnya upaya-upaya oleh pegiat perdamaian Gershon Baskin untuk membeli kelebihan pasokan kentang di Israel untuk disumbangkan kepada penduduk Gaza, tetap saja mendapatkan kritik dari sejumlah pihak di Israel.

"Saya menerima banyak sekali panggilan telepon dari orang-orang yang tidak mengerti mengapa kami harus mendanai 'teror' atau orang-orang yang cemas kalau-kalau sumbangan ini malah sampai ke tangan Hamas," kata Shavit. "Tapi, terowongan-terowongan Hamas tidak dibangun menggunakan popok-popok bayi."

Wanita itu mengatakan bahwa beberapa penelepon bersikeras bahwa tidak akan ada kelangkaan di Gaza karena semua bantuan kemanusiaan yang telah diizinkan oleh Israel dan Mesir telah mengalir ke Jalur Gaza.

Organisasi-organisasi kemanusiaan seperti Caritas Jerusalem mengatakan bahwa pengiriman-pengiriman tidaklah cukup untuk memenuhi keperluan di Gaza. Pembangkit tenaga listrik dan kebanyakan toko roti dan pabrik-pabrik telah hancur selama perang.

"Keadaannya mengerikan di seantero Gaza," kata Abusahliah.

Saling curiga sewaktu membantu warga Gaza bukan hanya terjadi di Israel. Suatu perkumpulan wanita di Israel yang telah menyumbangkan banyak sekali benda-benda untuk ibu-ibu baru dan bayi-bayi mereka tidak ingin nama mereka disebutkan.

Mereka takut, jangan-jangan para pejabat Hamas yang memerintah di Gaza akan menolak bantuan mereka kalau mengetahui bahwa sumbangan itu berasal dari kelompok yang hampir sepenuhnya warga Yahudi Israel. Dengan begitu, sumbangan dilakukan melalui pihak ketiga.

Hamas tidak mengijinkan warga Palestina untuk dirawat di rumah sakit lapangan milik militer Israel. Kebijakan Hamas untuk bank darah juga menolak tawaran-tawaran donor darah dari Israel.

Abusahliah mengatakan bahwa setiap bantuan dari sumber manapun tentu bersifat vital. Caritas,yang juga meluncurkan kampanye internasional untuk menggalang dana hingga hampir 2 juta dollar, menyediakan pasokan-pasokan peralatan kedokteran kepada rumah sakit yang dijalankan oleh gereja Anglikan.

Gereja Anglikan juga menjalankan suatu klinik kedokteran dan menyediakan makanan dan bantuan lain bagi kira-kira 3.000 orang yang mengungsi ke lembaga-lembaga Kristen di Gaza.

Hanya ada sekitar 1.331 warga Kristen di Gaza, sehingga kebanyakan dari sumbangan kemanusiaan oleh organisasi tersebut akan diterima oleh kaum muslim yang membutuhkan, katanya. "Semua warga Palestina telah menderita. Kami tidak membeda-bedakan berdasarkan agama."

Kathleen Saba, seorang warga Israel keturunan Palestina, ikut menyumbang kepada Caritas. Ia mengatakan bahwa "sungguh membahagiakan hati" melihat warga Kristen, Islam dan Yahudi bersama-sama membantu warga Gaza.

Katanya, "Begitulah amal yang sesungguhnya." (Ein)