Sukses

'Selfie Jilbab', Solidaritas Perempuan Australia untuk Muslimah

Perempuan Australia, dari segala macam latar belakang agama dan kepercayaan, mengenakan penutup kepala dan berselfie.

Liputan6.com, Canberra - Para perempuan Australia tak sekedar angkat bicara, mereka melakukan aksi nyata untuk melawan stigmatisasi terhadap penutup kepala yang dikenakan muslimah. Caranya, melakukan kampanye media sosial yang mendorong kaum hawa lain untuk memposting foto 'selfie hijab' mereka di dunia maya. Sebagai simbol solidaritas.

Awalnya, ada perdebatan panas di Canberra, ibukota Australia, sejumlah pihak menuntut pelarangan pakaian yang mewakili agama tertentu --terutama burqa juga jilbab. Aksi tandingan pun dilakukan. Perempuan di Negeri Kanguru, dari segala macam latar belakang agama dan kepercayaan, mengenakan penutup kepala dan dengan bangga mengunggah foto mereka itu ke dunia maya -- bergabung dalam kampanye yang dicetuskan pengacara sekaligus aktivis Mariam Veiszadeh.

Presenter Studio 10 Jessica Rowe, komik atau komedian Meshel Laurie, dan politisi dari Partai Buruh Julie Owens ikut bergabung dalam gerakan Women in Solidarity with Hijabis (#WISH) -- yang juga bertujuan melawan sentimen anti-muslim.



Grup di Facebook yang menarik 14 ribu follower sejak pekan lalu meminta para perempuan untuk, "menyatakan solidaritas mereka terhadap Muslim Australia dengan memposting foto-foto diri mereka di media sosial, mengenakan jilbab".

Pencetus kampanye, Mariam Veiszadeh menceritakan alasan mengapa aksi solidaritas harus dilakukan. "Aku mendengar tentang beberapa kejadian mengerikan di mana kaum muslimah dilecehkan di jalan, kereta bayi yang dibawa seorang ibu berjilbab ditendang. Juga sejumlah teman yang sampai-sampai takut meninggalkan rumah," kata dia kepada News.com.au, seperti dikutip Liputan6.com, Rabu (1/10/2014).

"Setelah insiden tersebut dikabarkan ke banyak orang, responsnya sungguh luar biasa, para perempuan Australia ingin membantu."

Meski demikian, sejumlah perempuan mempertanyakan, apakah gambar mereka mengenakan penutup kepala justru menyinggung umat Islam.

Dijawab oleh Veiszadeh: tidak. Yang utama, apa yang mereka lakukan bertujuan baik, bentuk solidaritas untuk muslimah. "Dan faktanya kampanye di media sosial ini dimulai oleh seorang muslim."

Ada juga yang mengkritik bahwa kampanye itu tak akan menghasilkan perubahan nyata. Namun, psikolog Jocelyn Brewer -- yang punya spesialisasi soal media sosial -- menyebut, kampanye ini berbeda. "Aksi WISH lebih pada tindakan daripada kampanye lain," kata dia. "Karena meminta perempuan (yang mungkin bukan muslim) melakukan tindakan, bukan sekedar membubuhkan 'Like' atau menyebarkan apa yang sudah ada." 



Sebelumnya, Perdana Menteri Australia, Tony Abbott menilai burqa bersifat 'mengkonfrontasi'. Ia berharap pakaian itu tak dikenakan.

"Jujur, saya berharap itu tak dipakai. Namun, kita adalah negara dan masyarakat yang menjunjung kebebasan. Dan itu bukan urusan pemerintah untuk menyuruh atau melarang memakai sesuatu," kata dia.

Soal pakaian yang tertutup, Nona Veiszadeh sepenuhnya mendukung diskusi mengenai apakah pakaian yang menutup wajah pemakainya harus dicopot jika terkait masalah keamanan.

"Bagian dari iman Islam adalah mengikuti hukum dan peraturan negara di mana ia tinggal," kata dia. "Namun soal melarang pakaian tertentu, itu konyol," kata dia.

Kampanye yang ia lakukan, kata Veiszadeh, juga ingin membangun pemahaman bahwa sejatinya perempuan muslim tidak tertindas. "Muslimah mengenakan jilbab atau apapun yang mereka kenakan, atas pilihan mereka sendiri. Dan mengetahui ada banyak perempuan Australia yang berbagi pesan solidaritas, adalah hal yang membesarkan hati," kata dia. (Tnt)