Liputan6.com, Hong Kong - Penampilan Joshua Wong sepintas tak meyakinkan sebagai seorang pemimpin demo Hong Kong: kerempeng, berkacamata, lugu, jauh dari gambaran aktivis perjuangan. Apalagi kalau dibandingkan dengan para pendekar kung fu seperti digambarkan dalam film-film shaolin, misalnya.
Namun dia digambarkan sebagai 'ekstrimis dan badut' oleh pemerintah China, karena Joshua Wong sedang mencoba memimpin sebuah revolusi sosial negerinya. Demikian seperti dilansir dari BBC Indonesia, Jumat (3/10/2014).
Dia tinggal di Hong Kong, daerah yang diperintah Inggris hingga 1997, dan sekarang menjadi daerah otonomi khusus China.
Namun Tiongkok dipandang sedang mengikis otonomi dan kebebasan di Hong Kong. Gara-gara keputusan Beijing yang mewajibkan calon pemimpin eksekutif Hong Kong lolos penyarikan sebuah badan yang dibentuk pemerintah China.
Maka Joshua, sebagaimana ratusan ribu warga Hong Kong lain, turun ke jalan melakukan protes.
"Rakyat tidak perlu takut pada pemerintah," kata dia mengutip film 'V for Vendetta', Justru "pemerintah yang harus takut pada rakyat mereka."
Berikutnya: Kelompok pertama yang didirikan Joshua.
Dampak Politik
Di usia 15 tahun, ia dan beberapa temannya membentuk sebuah kelompok yang disebut Scholarism. Bertujuan memperjuangkan hak politik pada kaum pelajar.
"Meskipun pelajar masih di bawah umur, non-profesional dan tak memiliki status sosial," jelas Joshua dalam sebuah wawancara dengan sebuah surat kabar Hong Kong. "Mereka tetap memiliki peran untuk ambil bagian dalam kebijakan pemerintah."
Berkat gerakannya itu, ternyata memberikan dampak langsung pada politik Hong Kong.
Pada tahun 2012, kelompok itu memimpin aksi 120 ribu siswa yang berunjuk rasa dan dalam gerakan bersama kelompok lain berhasil membatalkan program pendidikan nasional pro-China dengan menduduki kantor-kantor pemerintah.
Kacamata, kaos, celana pendek, sepatu kets, adalah ciri khas Joshua.
Para pemimpin politik terpaksa menunda rencana yang dirancang untuk mengajarkan siswa tentang doktrin Partai Komunis, "maju, tanpa pamrih dan bersatu".
Dua tahun kemudian, Joshua memimpin aksi protes terhadap keputusan bahwa Beijing akan menentukan calon yang tampil dalam Pemilu Hong Kong mendatang.
Joshua Wong berpendapat, hal itu membuat Hong Kong hanya quasi-demokrasi dan menyerukan teman-temannya untuk lebih peduli pada politik.
Ia yakin pelajar adalah orang-orang yang paling tepat untuk menyebarkan pesan itu, karena mereka 'idealis'.
Berikutnya: Joshua menjadi ancaman negara.
Advertisement
Ancaman keamanan
Pesan Joshua dengan demo yang digagasnya jelas, dia menginginkan masyarakat bebas di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk mencalonkan dan memilih kepala eksekutif Hong Kong. Sederhananya, ia ingin demokrasi.
"Protes damai adalah hal yang ideal, tetapi terkadang diperlukan juga pembangkangan sipil," jelas dia. Atas dasar itu, para mahasiswa memblokir pusat Hong Kong, mogok kuliah, dan justru berkumpul di jalanan.
Demonstrasi besaran-besaran Hong Kong asalnya digagas kelompok Occupy Central. Tapi anggota kelompok yang dipimpin Joshua Wong justru melancarkan unjuk rasa lebih awal.
Jadi, kata Benny Tai, salah satu dari tiga penyelenggara utama gerakan Occupy Central, mereka "bukannya mendorong para pelajar untuk bergabung, justru sebaliknya kami didorong oleh para pelajar untuk bergabung."
"Kami tersentuh dan terharu oleh aksi para pelajar," jelas Benny.
Joshua Wong -- pemuda berkacamata berusia 17 tahun itu -- oleh partai Komunis yang berkuasa resmi digolongkan sebagai ancaman bagi keamanan.
Dia salah satu dari 78 orang yang ditangkap setelah memimpin aksi di kantor-kantor pusat pemerintah Hong Kong, dan ia ditahan selama lebih dari 40 jam tanpa dakwaan.
Berikutnya: Tekad Joshua.
Tekad Joshua
Joshua Wong akhirnya dilepaskan, setelah ditahan tanpa dakwaan sekitar 40 jam. Namun polisi mengatakan mereka masih berhak untuk memprosesnya atau menangkapnya lagi.
Awalnya pemerintah meminta pengadilan untuk terus menahannya, karena membebaskannya akan mengganggu penyelidikan lebih lanjut, tetapi pengadilan menolak. Menurut pengadilan, penahanannya adalah sah, tetapi menahannya lebih lama merupakan tidakan melanggar hukum.
Meski sudah ditahan, tekad Joshua untuk memperjuangkan demokrasi tak padam. Khawatir jaringan seluler dimatikan saat ia kembali turun ke jalan, ia melancarkan tindakan pembangkangan lain dengan menyerukan pendukungnya untuk mengunduh aplikasi Firechat.
Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk berkomunikasi kendati tanpa akses internet. Dan sejak hari Minggu, sudah diunduh warga Hong Kong lebih dari 100.000 kali.
Meskipun mengalami kelelahan dan memar-memar setelah dilepaskan dari tahanan polisi, Joshua Wong telah bersumpah untuk kembali bergabung dengan kawan-kawannya dalam unjuk rasa untuk bergabung dengan perjuangan demi demokrasi Hong Kong.
"Kita harus memperlakukan setiap pertempuran sebagai pertempuran yang mungkin terakhir. Hanya dengan begitu kita akan memiliki tekad untuk berjuang melawan," tegas Joshua. (Ein)
Advertisement