Liputan6.com, London - Indah, provokatif, dan seksi -- sepatu berhak tinggi (high heels) menjadi simbol tampilan feminin sekaligus glamor kaum hawa.
High heels terus digunakan hingga saat ini, pemakainya bahkan rela "menyiksa" kaki demi tampil menjulang indah, terkadang dengan ketinggian hak yang tak masuk akal.
Padahal tak mudah memakainya. Tantangannya berat. Tak nyaman dipakai di tanjakan juga untuk mengemudi. Pemakainya disarankan menjauhi rerumputan, es, jalanan, juga di lantai kayu nan mewah. Salah-salah bisa terperosok.
Tapi, tahukah Anda, sepasang sepatu hak tinggi pernah menjadi aksesori penting bagi pria di masa lalu.
Dan tak seperti sepatu hak tinggi saat ini yang seolah tak dirancang untuk dipakai berjalan, dulu, sepatu hak tinggi punya kegunaan praktis.
"Sepatu berhak dipakai selama berabad-abad di Timur Dekat (daerah sekitar timur Mediterania) sebagai alas kaki saat berkuda," kata Elizabeth Semmelhack, dari Museum Sepatu Bata, Toronto, Kanada, seperti dimuat BBC, Sabtu (26/1/2013).
Menunggang kuda dengan baik amat penting dalam pertarungan di Persia - nama Iran di masa lalu. "Saat tentara berdiri di sanggurdi atau pijakan menunggang kuda, alas kaki itu membantunya mengamankan posisi, sehingga ia bisa memanah dengan lebih efektif."
Ditiru Bangsawan Eropa
Di akhir abad ke-16, Raja Persia, Syah Abbas memiliki pasukan kavaleri terbesar di dunia. Ia tertarik untuk menjalin hubungan dengan penguasa di Eropa Barat. Untuk membantunya mengalahkan musuh besar: Kekaisaran Ottoman (Turki).
Jadi pada tahun 1599, ia mengirimkan misi diplomatik ke Eropa, ke Rusia, Jerman, dan Spanyol.
Sejak saat itulah "demam" Persia berlangsung di Negara Barat. Termasuk soal gaya. Para aristokrat yang latah saat itu merasa, sepasang sepatu berhak bisa meningkatkan penampilan mereka. Lebih maskulin dan jantan.
Saat sepatu berhak mulai dipakai kalangan bawah, para bangsawan itu tak mau kalah. Mempertinggi hak sepatu mereka -- maka lahirlah high heels.
Di jalanan berlumpur Eropa di abad ke-17, sepatu model baru itu jelas tak punya fungsi praktis. Tapi justru di situlah poinnya.
"Salah satu cara merefleksikan status sosial adalah melalu hal-hal yang tak praktis," kata Semmelhack, menambahkan kalangan atas seringkali memakai pakaian rumit, tak nyaman, tapi mewah untuk mengumumkan status sosialnya. "Itu berarti mereka tidak harus ke ladang untuk bekerja, dan tak perlu berjalan jauh."
Sepatu Hak Tinggi Merah Raja Prancis
Soal siapa kolektor sepatu paling menonjol dalam sejarah, selain Imelda Marcos, ada pula Raja Prancis Louis XIV. Di sangat gemar memakai sepatu hak tinggi.
Apalagi, untuk ukuran raja yang berkuasa, ia termasuk mini. Tingginya hanya 163 cm, jauh di bawah ukuran rata-rata lelaki Eropa.
Dengan sepatu berhak, tinggi Sang Raja bertambah 10 cm. High heels yang ia pakai seringkasi dilengkapi dekorasi yang menggambarkan situasi pertempuran.
Yang menarik, hak dan sol sepatunya selalu berwarna merah -- kala itu pewarna merah sangat mahal. Gaya fashion itu menyebar ke luar negeri, potret penobatan Charles II of England pada 1661 menggambarkannya menggunakan sepasang sepatu merah berhak tinggi, bergaya Prancis. Tetap ia pakai meski tinggi badannya sudah 185 cm.
Pada tahun 1670, Louis XVI mengeluarkan aturan, hanya orang-orang terdekatnya yang boleh pakai sepatu bersol merah. Dengan kata lain, masyarakat Prancis kala itu bisa menilai kesetiaan seseorang pada raja dengan memeriksa bagian bawah seseorang.
Diambil Alih Perempuan
Baca Juga
Meski orang Eopa menambahkan sepatu berhak agar penampilan mereka lebih macho, belakangan justru
perempuan yang tergila-gila memakainya. Â
Saat itu di tahun 1630 -an, perempuan mengadopsi gaya pakaian laki-laki, memotong rambut mereka, dan menambahkan hiasan pangkat pada pakaian.
Sejak saat itu, hingga akhir abad ke-17, sepatu berhak menjadi mode sepatu uniseks. ""Anda mulai melihat perubahan di bagian haknya" kata Helen Persson, seorang kurator di Museum Victoria and Albert di London. "Hak sepatu pria lebih kuat, rendah. Sementara tumit sepatu perempuan menjadi lebih ramping."
Busana pria pun bergeser ke arah yang lebih praktis. Pakaian pria tidak lagi menjadi penanda kelas sosial, yang rumit. Tapi sementara batas-batas itu kabur, perbedaan antara kedua jenis kelamin menjadi lebih jelas.
Sepatu hak tinggi untuk pria mulai dipandang konyol. Pada tahun 1740 sudah tak ada pria yang memakainya. Begitu pula dengan para perempuan, 50 tahun kemudian, pasca Reevolusi Prancis.
Advertisement