Liputan6.com, Washington DC- Selama Perang Dunia II, Amerika Serikat yang bergabung dengan kekuatan sekutu memerangi tentara Nazi yang dikomandoni sang bos, Adolf Hitler. Namun dokumen rahasia yang terkuak mengungkap fakta penting: pascaperang, AS -- atau lebih tepatnya CIA dan FBI -- ternyata memanfaatkan ratusan orang yang berasal dari Reich Ketiga sebagai mata-mata dan informan.
Setelah Perang Dunia II, para pejabat Central Intelligence Agency (CIA) dikabarkan beralih ke mantan musuh bebuyutannya demi mengalahkan Uni Soviet selama Perang Dingin di tahun 1950-an. Demikian informasi yang tertulis dalam buku karangan Eric Lichtblau, 'The Nazis Next Door: How America Became a Safe Haven for Hitler’s Men'.
Studi akademik terhadap dokumen-dokumen tersebut mengatakan, AS mempekerjakan setidaknya 1.000 eks-Nazi. Beberapa dari mereka yang pernah menjadi petinggi Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei alias partai Nazi, direkrut untuk bekerja sebagai mata-mata AS di seantero Eropa.
Mantan petinggi SS, Otto von Bolschwing yang pernah dilaporkan menulis kertas kebijakan tentang bagaimana meneror kaum Yahudi, direkrut CIA untuk jadi intel di Eropa Setelah Perang Dunia II.
Seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Selasa (28/10/2014), CIA dikabarkan merelokasi dia dan keluarganya ke New York pada tahun 1950-an sebagai balasan atas kesetiaannya.
Von Bolschwing tinggal di AS selama 20 tahun, sebelum jaksa mengetahui masa lalunya yang kelam. Putranya, Gus von Bolschwing, mengakui, kerjasama antara ayahnya dan CIA 'tak konsisten' dengan nilai yang dianut AS.
"Mereka (AS) menggunakannya, dan ia (Bolschwing) memanfaatkannya," kata dia dalam sebuah wawancara.
Kolaborator Nazi, Aleksandras Lileikis -- yang terkait dengan pembantaian puluhan ribu kaum Yahudi di Lithuania -- direkrut AS sebagai mata-mata di Jerman Timur. Ia kemudian dipindahkan ke Boston.
Juga ada bukti bahwa CIA bahkan mencoba melakukan intervensi saat Lileikis menjadi subyek investigasi kasus kejahatan perang.
Rekruitmen Nazi dilakukan di tengah paranoia dan panik Perang Dingin. Namun, berdasarkan isi dokumen, sejak lama Direktur Biro Penyelidik Federal (FBI), J Edgar Hoover tak hanya menyetujui perekrutan eks-Nazi sebagai mata-mata. Ia juga mengenyampingkan keterlibatan mereka dalam tindakan mengerikan semasa pemerintahan Hitler, dan menyebutnya sebagai propaganda Soviet.
Hal tersebut terkuak sepekan setelah investigasi yang dilakukan Associated Press menemukan bahwa Pemerintah AS di masa lalu telah membayar puluhan tersangka pelaku kejahatan perang Nazi, dengan jumlah bayaran jutaan dolar dalam bentuk tunjangan Jaminan Sosial setelah memaksa mereka meninggalkan Negeri Paman Sam.
Pembayaran itu memanfaatkan celah hukum. Departemen Kehakiman AS kemudian menyebut, tunjangan tersebut diberikan pada individu yang melepas status kewarganegaraan Amerika Serikat dan meninggalkan negara itu secara sukarela.
Richard Breitman, ahli Holocaust di American University yang masuk anggota tim penguak fakta perang mengatakan, pertimbangan tak biasa digunakan sebagai dasar menggunakan eks-Nazi sebagai mata-mata.
"Ada semacam kepanikan. Kekhawatiran bahwa kekuatan Komunis makin tak terbendung dan kita (AS) hanya punya sedikit aset," kata dia seperti dimuat Russia Today. (Tnt)