Liputan6.com, Paris - Minggu pagi yang dingin dan berselimut salju tipis, 2 Desember 1804, Napoleon Bonaparte terjaga dari tidurnya pukul 08.00. Dua jam kemudian, diiringi suara dentuman meriam, ia meninggalkan Istana Tuileries di tepi Sungai Seine. Membelah kerumunan 4 sampai 5 ribu orang yang menyemut di sisi jalan.
Pria kelahiran Korsika itu mengenakan jubah beludru putih yang dihiasi bordir benang emas, kancing yang dihiasi berlian, tunik dari beludru merah, dan mantel pendek berlapis satin. Kereta kuda yang membawanya mengarah ke Katedral Notre Dame, Paris, Prancis.
Di sanalah sebuah upacara agung dilaksanakan. Pemimpinnya adalah Paus Pius VII yang jauh-jauh datang dari Roma. Saat prosesi penobatan dilakukan, Sang Paus berkata, "Terimalah mahkota ini...", Napoleon -- yang jadi bintang dalam acara itu -- tiba-tiba balik badan, melepas rangkaian daun (laurel wreath) di kepalanya, mengambil mahkota dari altar dan memasangkannya di kepalanya sendiri.
Ia lalu memasangkan mahkota yang lebih kecil pada istrinya, Josephine yang berlutut di depannya. Lalu dengan memegang Injil, sumpah diucapkan.
Hari itu, pada usia 35 tahun, Napoleon Bonaparte mengangkat dirinya sendiri sebagai Kaisar Prancis. Menjadi orang Prancis pertama yang menyandang gelar itu dalam jangka waktu ribuan tahun.
Sejak awal ia tak ingin menjadi bagian dari rezim lama, yang diruntuhkan seiring terpenggalnya kepala Raja Louis XVI dan gegap gempita teriakan "Vive la Nation! Vive la République!" Hidup Republik!
"Menjadi raja adalah mewarisi ide lama dan silsilahnya. Aku tak ingin jadi penerus dari siapa pun," kata Napoleon, menjelaskan mengapa ia ingin menjadi kaisar, bukan raja Prancis. Sebaliknya, ia menolak ide-ide republik.
Baca Juga
Napoleon adalah ahli strategi militer terbaik sepanjang sejarah. Karier militernya menanjak pesat setelah dia berhasil menumpas kerusuhan yang dimotori kaum pendukung royalis dengan cara yang sangat mengejutkan: menembakkan meriam di kota Paris dari atas menara. Peristiwa itu terjadi tahun 1795 saat Napoleon berusia 26 tahun.
Advertisement
Kemudian ia berhasil membawa kemenangan gilang gemilang Prancis atas Austria dan Prusia, bahkan nyaris menguasai seluruh daratan Eropa, dengan jalan mengobarkan perang maupun diplomasi.
Namun tak ada kekuasaan yang abadi. Kegagalan menginvasi Rusia dan akhirnya kekalahan di Waterloo meredupkan bintang Napoleon.
Pertempuran 18 Juni 1815 di dekat kota Waterloo, sekitar 15 km selatan ibukota Belgia, menjadi yang terakhir bagi Napoleon. Kekalahan dalam perang ini menjadi penutup sejarahnya sebagai Kaisar Prancis.
Menariknya, dua bulan sebelum Napoleon kalah telak, pada April 1815, nun jauh di wilayah Sumbawa yang kini menjadi bagian dari Indonesia, terjadi sebuah letusan gunung berapi kolosal: Tambora.
Sekitar 100 ribu orang tewas akibat aliran lava dan awan panas, karena tergulung tsunami, juga akibat selimut abu yang menutupi area pertanian di Asia Tenggara -- yang merusak tanaman pangan yang berujung kelaparan dan juga mencekik jalan napas warga.
Jutaan ton abu dan debu muncrat ke angkasa. Efeknya bahkan mengubah iklim dunia. Petaka dirasakan di Eropa dan Amerika Utara. Tahun 1816 dikenal sebagai 'Year without Summer' atau 'tahun tanpa musim panas', ketika suhu sangat dingin, manusia dan hewan membeku, panen gagal, dan orang-orang ketakutan mengira saat itu akhir dunia akan segera tiba. Konon, Tambora punya andil atas selesainya. (Ein/Ans)