Liputan6.com, Jakarta - Minggu 4 Desember 1977, saat jarum jam menunjuk ke pukul 19.21, pesawat Malaysia Airlines Penerbangan 653 berjalan perlahan menuju landasan, lalu melaju kencang, dan mengangkasa membelah langit malam.
MH653 terbang dari Bandara Internasional Bayan Lepas, Penang menuju Bandara Sultan Abdul Aziz Shah, Subang, Kuala Lumpur untuk transit. Singapura menjadi pemberhentian terakhir penerbangan (PEN-KUL-SIN) itu.
Seratus orang di dalamnya, 93 penumpang dan 7 awak, tak pernah mengira, penerbangan jarak pendek itu akan menjadi saat-saat penghabisan hidup mereka.
Sekitar pukul 19.47, di ketinggian 4.000 kaki di atas Batu Arang -- jelang pendaratan di Kuala Lumpur -- sang pilot, Kapten G. K. Ganjoor melapor ke menara pengawas.
"635 diizinkan mendarat. Angin di darat relatif tenang," kata petugas menara kontrol, menanggapi.
Saat itu ada pesawat kedua yang antre mendarat. Melihat MH653 tak kunjung turun, sang pilot mengontak sesama penerbang.
"Ada masalah?," tanya dia.
"Kami mengalami kondisi darurat," jawab pilot MH635, Kapten Ganjoor. Â
Tak ada kejelasan, hingga akhirnya ia melanjutkan. "Ada pembajak dalam pesawat."
Pesawat tak sempat mendarat di Kuala Lumpur, pilot menginformasikan Boeing 737-200 itu langsung mengarah ke Bandara Paya Lebar Singapura. Pihak menara kontrol kemudian memberikan izin mendarat pukul 20.45 waktu setempat. Namun, MH635 tak pernah menyentuh landasan. Suara tembakan terdengar, komunikasi putus.
Sekitar pukul 20.30, penduduk Kampong Ladang, Tanjong Kupang mendengar suara ledakan keras. Api membumbung di atas rawa. Dari badan pesawat MH635 yang bercerai berai dan hangus.
Sebanyak 100 orang di dalamnya tewas seketika, jasad mereka sulit diidentifikasi. Termasuk yang kehilangan nyawa adalah Menteri Pertanian Malaysia, Dato' Ali Haji Ahmad, Kepala Departemen Pekerjaan Umum Malaysia, Dato' Mahfuz Khalid, dan Duta Besar Kuba untuk Jepang, Mario Garcia.
Advertisement
Selanjutnya: Misteri tak berujung...
Misteri Tak Berujung
Misteri Tak Berujung
Hingga saat ini, tragedi itu masih jadi misteri bagi Devika Ganjoor Erickson. Foto seorang pria tampan, dengan janggut ditata rapi menjadi obat kangen kepada sosok yang paling ia rindukan: sang ayah, pilot MH653.
Perempuan itu sudah menunggu 37 tahun untuk mendapatkan jawaban, mengapa pembajak lolos masuk pesawat, dan tentang suara tembakan di kokpit yang membunuh ayahnya dan kopilot, Kamaruzaman Jalil.
"37 tahun berlalu dan kami tak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi dan mengapa," kata dia, seperti dikutip dari situs New Zealand Herald. "Headline di surat kabar saat itu hanya menyebut 'teroris asing'. Tak ada satupun yang tahu siapa dia."
Yang membuat Devika miris adalah isi rekaman kokpit yang dipublikasikan kepada publik. "Entah ayahku atau kopilot memohon, 'tolong, jangan menembak'. Lalu terdengar suara tembakan," kata dia. "Ayah kami dibunuh saat bertugas dan kami tak tahu mengapa."Â
Musibah yang menimpa MH635 adalah kecelakaan terburuk yang menimpa Malaysia Airlines hingga 8 Maret 2014 ketika MH370 yang membawa 227 penumpang dan 12 awak hilang misterius dalam perjalanan dari Kuala Lumpur ke Beijing, China.
Belum diketahui di mana dan mengapa MH370 hilang. Spekulasi bermunculan dari soal pembajakan, ledakan baterai lithium dalam kargo, hingga sabotase.
Pencarian besar-besaran kini terus dilakukan di Samudera Hindia sebelah selatan. Kasus hilangnya pesawat itu menjadi salah satu misteri terbesar di Abad ke-21.
Kemalangan maskapal pelat merah negeri jiran tak sampai di situ. Pada 17 Juli 2014, pesawat Malaysia Airlines MH17 yang terbang dari Amsterdam, Belanda menuju Malaysia ditembak jatuh di atas langit Ukraina yang bergejolak. Semua orang di dalamnya, 283 penumpang dan 15 kru tewas. Hingga berita ini diturunkan, belum dipastikan pihak mana yang bertanggung jawab atas kejahatan itu.Â
Selain kecelakaan MH635, tanggal 4 Desember diwarnai sejumlah momentum penting. Pada tahun 1959, kaisar Tiongkok terakhir, Pu Yi menerima pengampunan khusus dari Pemerintah Beijing. (Rmn)
Advertisement